Wednesday, April 24, 2013

Memilih Sekolah

Siang tadi saya menjemput putri sulung saya di sekolah barunya. Dia terlihat cantik dengan kerudung dan baju panjangnya yang terlihat agak kebesaran. Seperti biasa, dia menunggu saya menjemputnya sambil main ayunan. Melihat kehadiran saya, ia segera mengambil tasnya lalu berlari kecil menghampiri. Saya tanyakan bagaimana kabarnya di sekolah hari ini, berharap ia bisa bercerita bahwa ia sudah mendapatkan 1-2 orang teman baru untuknya. Lalu dari mulut mungilnya keluarlah cerita tentang Sekar dan Nanda. Syukurlah.

Tak pernah saya mengira bahwa saya akan memasukkan anak saya ke sekolah agama. Dulu, saya ingat saya bahkan sempat bersitegang dengan suami tatkala saya bersikeras meminta si sulung bersekolah di sekolah RSBI di kota kami. Suami saya yang memiliki latar belakang pendidikan agama menganggap bahwa sekolah agama menjadi kian diperlukan untuk memberi bekal yang cukup bagi pembentukan akhlak, apalagi melihat kondisi lingkungan yang semakin tidak kondusif untuk tumbuh kembang anak. Tapi saya menolaknya, saya katakan bahwa pendidikan agama seharusnya dimulai dari rumah, dari keluarga, bukan dari sekolah. Selain itu, saya berdalih bahwa sekolah agama memberikan muatan materi yang terlalu banyak untuk dikonsumsi anak seusianya. Selain belajar muatan nasional, muatan lokal, masih pula belajar muatan agama dan keorganisasian. 

Perubahan itu muncul ketika saya akhirnya menyadari bahwa saya tidak mampu memberi bekal yang cukup untuk anak-anak saya. Bahkan untuk hal-hal sederhana namun bersifat elementer seperti sholat pun saya merasa kesulitan untuk membuat mereka bangkit mengambil wudhu dan menunaikan rakaat demi rakaat. Terlepas dari faktor lingkungan, saya mengakui bahwa itu sepenuhnya kesalahan saya.  Saya sering tidak hadir untuk memantau mereka dan saya merasa cukup ketika mengetahui mereka telah mengerjakan pe-er sekolahnya. Bagaimana mungkin saya berharap mereka mampu melakukan apa yang saya harapkan tanpa saya pernah turun tangan membiasakan mereka melakukannya?

Butuh waktu bagi saya untuk bisa mengakui letak kesalahan saya dan butuh waktu bagi saya untuk akhirnya mengakui bahwa pada suatu titik, saya salah mengarahkan anak-anak saya. Bagaimana pun, sayalah ibunya dan sayalah yang seharusnya bertanggung jawab pada proses pendidikan mereka. Jika saya punya pengetahuan agama cukup tentu saya akan turun tangan langsung menangani pendidikan agama anak-anak saya, namun pengetahuan saya teramat dangkal, saya masih harus banyak belajar. Memasukkan anak ke sekolah agama adalah salah satu ikhtiar untuk melengkapi kekurangan saya.

Usia anak-anak adalah usia emas, saya sepenuhnya meyakini hal itu. Saya ingin di usia emas ini anak-anak mendapat stimulasi untuk kecerdasan spiritualnya kelak. Bukan kecerdasan spiritual yang dibangun di atas teori-teori buatan manusia seperti ibunya, tapi kecerdasan spiritual yang dibangun di atas harapan kepada Allah Ta'ala dan kecintaan kepada baginda Rasulullah (saw). Saya ingin memanfaatkan usia emas anak-anak saya dengan memberi mereka bekal agama. Tapi karena modal saya terbatas, saya titipkan anak-anak saya di sekolahnya sekarang untuk melengkapi apa yang bisa saya berikan di rumah. Tentu saya akan bangga jika anak-anak mampu meraih kesuksesan di masa depan, tapi saya lebih berharap agar anak-anak bisa selamat dunia akhirat. Bagi saya, inilah visi saya untuk masa depan anak-anak. Semoga DIA Yang Maha Mendengar menjawab do'a saya ...



foto: dokumentasi pribadi

No comments:

Post a Comment