Friday, May 3, 2013

Majalah dan buku bekas (Bagian 1 dari 2 Tulisan)

Sekitar tiga minggu yang lalu saya membeli majalah bekas dalam jumlah yang cukup banyak. Saya senang membeli majalah bekas karena, selain harganya yang murah, saya bisa membeli majalah sesuai dengan topik yang menjadi perhatian saya. Di samping itu, majalah bekas juga banyak yang dijual dalam keadaan terbungkus plastik, alias masih baru. Lagipula, karena bukan koran, isi majalah juga tidak pernah basi. Pendeknya, membeli majalah bekas itu klop dengan selera dan kebutuhan saya.

Kalau buku bekas, saya sudah lama sekali tidak membelinya. Entahlah, mungkin karena kehadiran internet sebagai sumber informasi yang, meski tidak bisa selalu dipercaya, namun relatif murah dan aksesibel sehingga saya dibuat nyaman dengan kebiasaan memamah informasi yang membanjir namun seringkali tak-utuh itu. Dulu, karena belum ada internet dan untuk menghemat kiriman orangtua, berburu buku bekas--baik untuk referensi mengerjakan tugas atau untuk asupan bacaan--mutlak dilakukan agar tidak mengalami kebangkrutan di tengah bulan.

Di Jakarta, lapak buku bekas di emperan jalan yang saya tau masih bisa ditemui di sekitar Senen dan Kwitang meski jumlahnya sudah banyak berkurang dari jaman saya kecil dulu. Kalau toko buku bekas, saya hanya tau dua saja, di daerah TIM dan di lantai bawah Pasar Festival. Terakhir saya sambangi yang di TIM empat tahun lalu, sewaktu menunggu jam buka loket penjualan tiket untuk pertunjukan drama musikal anak-anak. Tapi, yang di Pasar Festival tampaknya malah sekarang sudah tutup atau mungkin pindah lokasi saja.

Meski berbeda dengan emperan yang biasa saya sambangi di jaman sekolah dulu, tapi sensasi yang muncul dari lapak buku bekas selalu sama. Mengubek-ubek tumpukan atau deretan buku dan majalah bekas untuk mencari satu tema yang dicari ataupun dinanti itu benar-benar ... sesuatu. Bagaimana tidak, jika toko buku modern menawarkan efisiensi untuk pencarian di rak mana lokasi buku berada melalui bantuan mesin pencari, lapak buku bekas biasanya menawarkan kebalikannya ... dan, bagi saya, itulah keunggulannya. Di zaman ketika orang ingin segalanya serba mudah dicapai, serba cepat diraih, orang yang menyambangi lapak buku bekas harus menyiapkan tidak hanya tenaga tapi juga waktu dan kesabaran untuk menemukan apa yang dicari.

Entah dengan orang lain, tapi bagi saya, kesenangan saat berhasil menemukan buku yang saya cari di lapak buku bekas tidak bisa disamakan dengan kesenangan menemukan buku yang saya cari di toko buku. Pernah sekali waktu, saya berhenti di Cikapundung untuk melihat-lihat buku bekas yang terlindung plastik dari debu-debu di emperan jalan. Tidak ada niatan untuk membeli buku karena uang di saku hanya 23 ribu. Kalau dipaksakan membeli buku pastinya tidak akan ada sisa ongkos pulang. Namun ada 2 judul buku yang masih baru, rapi tersampul plastik, tanpa coretan di dalamnya, dan temanya sungguh menarik hati.

Setelah lama membolak-balik dan membaca beberapa lembar isinya, bapak itu menyebutkan harganya.
"satu bukunya 15.000 aja, Neng."
Sambil permisi saya katakan, "wah, uang saya tidak cukup, Pak. Maaf. Lain kali saya akan kembali."

Namun bapak itu malah ingin melepaskan buku itu dengan harga seberapa pun yang saya mampu. Menurutnya, "baru 10 menit yang lalu buku ini didrop pemilik lamanya, Neng. Bukunya pasti bagus ya, Neng, soalnya jarang-jarang ada buku yang baru hitungan menit sudah ada yang mau begini."

Saya katakan, bukunya memang bagus. Tapi saya juga bilang, uang saya pasti tidak akan cukup untuk menutup modalnya membeli buku ini dari tangan sebelumnya.
Namun bapak itu bersikeras, "biar ngga apa-apa, Neng. Rejeki sudah ada yang atur. Selama masih ada usaha, insyaAllah ngga akan rugi. Lagian, buku bagus banyak yang cari. Kalau lain kali Neng main ke sini lagi, belum tentu bukunya masih ada sama bapak."

Betul juga, pikir saya. Lalu sambil mengambil selembar 20-ribuan, saya katakan bahwa saya hanya akan ambil 1 buku saja.
Bapak itu kembali bersikeras. "Ambil 2, saya kasih 20.000 ya?" tanyanya retoris. Lalu ia buru-buru menyimpan 2 buku itu ke dalam plastik.
"Tapi uang itu kan masih kurang, Pak. Nanti saya hutang," kata saya.
"Uang 20.000 itu sudah lunas kok. Yang penting bukunya dibaca," tandasnya.

Di sepanjang jalan pulang, di angkot, saya tidak habis mensyukuri apa yang baru saja saya peroleh. Bukan karena mendapatkan harga semurah-murahnya, tapi karena pelajaran penting tentang makna menjadi kaya. Ternyata, orang yang kaya bukanlah orang yang banyak uangnya, tapi orang yang dalam keterbatasannya masih mampu memberi kepada yang lainnya. Saya mungkin tidak akan mendapatkan pelajaran sepenting ini jika saya hanya tau menyambangi toko buku modern yang justru meraup keuntungan dengan menarik biaya display setinggi-tingginya dan menimpakan beban biaya ini kepada para pembeli setianya.

Meski tidak semua pemilik lapak buku bekas memikili kekayaan seperti bapak yang saya temui dulu, tapi setidaknya di lapak buku bekas orang masih bisa menemukan ekspresi kemanusiaan yang spontan, yang--di zaman kemasan seperti sekarang--semakin jarang dijumpai. Dan, meski tidak semua lapak buku bekas menawarkan harga buku yang murah, terutama jika buku yang dijual bersifat collectible, namun saya yakin masih banyak buku-buku bekas yang dijual dalam harga miring dibandingkan harga di toko buku umumnya. Namun, saat ini, ketika interaksi orang diminimalkan oleh komputer, barcode, dan papan informasi, lapak buku bertahan pada mode komunikasi yang dinamis di antara penjual dan pembeli. Dan ketika segala hal direduksi menjadi sekadar transaksi jual beli, di lapak buku bekas seseorang bahkan bisa mendapatkan tidak hanya buku yang dicari tapi juga keakraban bahkan, tak jarang, pertemanan yang karib di antara pemilik lapak dan pelanggan-pelanggannya.


foto: dokumentasi pribadi


No comments:

Post a Comment