Tuesday, April 30, 2013

Sekolah di rumah

Setelah lama si bungsu mogok sekolah, akhirnya saya memutuskan untuk menyekolahkan si bungsu di rumah saja. Semacam homeschooling, tapi untuk anak TK. Bedanya, kalau homeschooling SD masih bisa dicari modul dan panduan kurikulumnya, kalau TK agak susah buat saya mencari bocoran kurikulum dan modulnya. Tapi karena sifatnya hanya persiapan untuk masuk SD, jadi saya tidak terlalu risau untuk urusan kurikulum, mungkin lain urusannya kalau yang dihadapi bukan TK ya, karena pastinya kan sudah harus memiliki standar tertentu.

Jujur, saya tidak pakai standar untuk persiapan menyekolahkan si bungsu di rumah. Saya berharap sekolah ini, seperti homeschooling pada umumnya, menjadi sarana pembelajaran bagi si bungsu bahwa belajar itu harus dilakukan setiap hari, tapi dengan cara yang membuatnya nyaman ... karena tak ada bedanya dengan aktivitas yang biasa ia lakukan sehari-hari di rumah, bersama siapa pun ... tidak harus dengan guru, dan di mana pun ... tidak harus di dalam kelas. Agar membuatnya menjadi menjadi lebih bertanggung jawab, saya memberikan jam khusus untuk memulai dan mengakhiri pelajaran. Saya juga meminta ia menyiapkan alat-alat tulis dan meja kecilnya sebelum pelajaran dimulai. Dan, untuk membedakan kegiatan di rumah dengan kegiatan di sekolah, saya memberikan ritual di antara waktu-waktu belajarnya serta tugas ringan, seperti hafalan ayat  atau do'a pendek.

Karena tidak punya pengalaman formal untuk mendesain materi maupun metode pembelajaran untuk anak usia dini, saya bersandar pada insting saya saja untuk mengajar. Yang jelas, saya pribadi meyakini ada 3 hal pokok yang penting dalam setiap proses pembelajaran:
(1) belajar dari materi yang tersedia
(2) belajar haruslah menyenangkan
(3) fokus pada tujuan

Belajar dari materi yang tersedia
Karena saya tidak memiliki akses untuk kurikulum TK yang disarankan, saya mencoba mendesain sendiri materi yang dibutukan si bungsu, bukan berdasarkan kurikulum tapi berdasarkan tujuan akhir yang ingin dicapai, yakni untuk persiapan si bungsu masuk SD.

Belajar haruslah menyenangkan
Saya pikir, tidak hanya anak-anak, siapa pun ingin supaya belajar berlangsung dalam suasana yang menyenangkan. Agar anak tidak merasa bosan, saya memulai pelajaran dengan pengkondisian, seperti membaca cerita dan game. Selain itu, saya juga mencoba mengombinasikan muatan teori dan praktik melalui metode ceramah dan eksperimen.

Fokus pada tujuan 
Ada 2 tujuan yang hendak diraih dalam penyelenggaraan sekolah si bungsu di rumah, yakni persiapan masuk SD dan diniyah. Sebagaimana si sulung, saya memandang materi diniyah sangatlah urgen untuk diperkenalkan sejak dini. Untuk persiapan masuk SD, alih-alih fokus pada calistung, saya fokus justru pada keterampilan bahasa dan sains. Sementara untuk diniyah, saya mencoba dengan hafalan do'a dan surat-surat pendek, serta hafalan asmaul husna.

Sekolahnya sendiri sudah saya mulai bersamaan dengan berlakunya diet, yakni sejak hari senin kemarin. Setiap hari, sekolah berlangsung mulai pukul 9.00 s.d. pukul 10.30 dengan pembabakan sebagai berikut:  
(1) pengkondisian 1: membaca buku cerita (10 menit), untuk keterampilan bahasa 
(2) agama: asmaul hunsa (10 menit) dan hafalan do'a atau surat pendek (15 menit), 
(3) pengkondisian 2: variasi permainan (15 menit) dan pemberian buah potong
(4) membaca ensiklopedia (15 menit), untuk sains
(5) memasak/berkebun/menonton film (25 menit), untuk pembelajaran lewat eksperimen.




Wednesday, April 24, 2013

Memilih Sekolah

Siang tadi saya menjemput putri sulung saya di sekolah barunya. Dia terlihat cantik dengan kerudung dan baju panjangnya yang terlihat agak kebesaran. Seperti biasa, dia menunggu saya menjemputnya sambil main ayunan. Melihat kehadiran saya, ia segera mengambil tasnya lalu berlari kecil menghampiri. Saya tanyakan bagaimana kabarnya di sekolah hari ini, berharap ia bisa bercerita bahwa ia sudah mendapatkan 1-2 orang teman baru untuknya. Lalu dari mulut mungilnya keluarlah cerita tentang Sekar dan Nanda. Syukurlah.

Tak pernah saya mengira bahwa saya akan memasukkan anak saya ke sekolah agama. Dulu, saya ingat saya bahkan sempat bersitegang dengan suami tatkala saya bersikeras meminta si sulung bersekolah di sekolah RSBI di kota kami. Suami saya yang memiliki latar belakang pendidikan agama menganggap bahwa sekolah agama menjadi kian diperlukan untuk memberi bekal yang cukup bagi pembentukan akhlak, apalagi melihat kondisi lingkungan yang semakin tidak kondusif untuk tumbuh kembang anak. Tapi saya menolaknya, saya katakan bahwa pendidikan agama seharusnya dimulai dari rumah, dari keluarga, bukan dari sekolah. Selain itu, saya berdalih bahwa sekolah agama memberikan muatan materi yang terlalu banyak untuk dikonsumsi anak seusianya. Selain belajar muatan nasional, muatan lokal, masih pula belajar muatan agama dan keorganisasian. 

Perubahan itu muncul ketika saya akhirnya menyadari bahwa saya tidak mampu memberi bekal yang cukup untuk anak-anak saya. Bahkan untuk hal-hal sederhana namun bersifat elementer seperti sholat pun saya merasa kesulitan untuk membuat mereka bangkit mengambil wudhu dan menunaikan rakaat demi rakaat. Terlepas dari faktor lingkungan, saya mengakui bahwa itu sepenuhnya kesalahan saya.  Saya sering tidak hadir untuk memantau mereka dan saya merasa cukup ketika mengetahui mereka telah mengerjakan pe-er sekolahnya. Bagaimana mungkin saya berharap mereka mampu melakukan apa yang saya harapkan tanpa saya pernah turun tangan membiasakan mereka melakukannya?

Butuh waktu bagi saya untuk bisa mengakui letak kesalahan saya dan butuh waktu bagi saya untuk akhirnya mengakui bahwa pada suatu titik, saya salah mengarahkan anak-anak saya. Bagaimana pun, sayalah ibunya dan sayalah yang seharusnya bertanggung jawab pada proses pendidikan mereka. Jika saya punya pengetahuan agama cukup tentu saya akan turun tangan langsung menangani pendidikan agama anak-anak saya, namun pengetahuan saya teramat dangkal, saya masih harus banyak belajar. Memasukkan anak ke sekolah agama adalah salah satu ikhtiar untuk melengkapi kekurangan saya.

Usia anak-anak adalah usia emas, saya sepenuhnya meyakini hal itu. Saya ingin di usia emas ini anak-anak mendapat stimulasi untuk kecerdasan spiritualnya kelak. Bukan kecerdasan spiritual yang dibangun di atas teori-teori buatan manusia seperti ibunya, tapi kecerdasan spiritual yang dibangun di atas harapan kepada Allah Ta'ala dan kecintaan kepada baginda Rasulullah (saw). Saya ingin memanfaatkan usia emas anak-anak saya dengan memberi mereka bekal agama. Tapi karena modal saya terbatas, saya titipkan anak-anak saya di sekolahnya sekarang untuk melengkapi apa yang bisa saya berikan di rumah. Tentu saya akan bangga jika anak-anak mampu meraih kesuksesan di masa depan, tapi saya lebih berharap agar anak-anak bisa selamat dunia akhirat. Bagi saya, inilah visi saya untuk masa depan anak-anak. Semoga DIA Yang Maha Mendengar menjawab do'a saya ...



foto: dokumentasi pribadi

Tuesday, April 23, 2013

Everybody needs a little sense of pride ...

Setiap orang membutuhkan sedikit saja penghargaan dari lingkungannya. Penghargaan adalah kebutuhan esensial manusia. Suami membutuhkan penghargaan istri, istri membutuhkan penghargaan suami. Orangtua membutuhkan penghargaan anak, anak juga membutuhkan penghargaan orangtua. Atasan membutuhkan penghargaan bawahan, bawahan juga membutuhkan penghargaan atasan. Bahkan seorang pendosa pun membutuhkan penghargaan, sehingga ia menutup-nutupi dosanya di hadapan orang banyak, takut kalau-kalau ia akan kehilangan penghargaan dari orang-orang di sekitarnya.

Penghargaan terukur dari tidak hanya kepedulian dan perhatian, tapi juga dari simpati dan empati yang diberikan. Tidak cukup dengan hanya tau seseorang sakit, tapi juga kehadiran untuk menjenguk si sakit. Tidak cukup hanya dengan mengucapkan terima kasih pada hadiah yang diterima, tapi juga memakainya dengan suka cita. Tidak cukup hanya dengan mengatakan maaf untuk kealpaan yang tak disengaja, tapi juga berusaha tidak mengulanginya kembali. Tidak cukup hanya dengan memberikan apa yang menjadi kewajiban, tapi juga upaya memberi lebih dari yang bisa diberikan. Pada akhirnya, pemilik seluruh tindakan itu berharap ia akan menerima hal yang sama dari rekannya. Penghargaan selalu diiringi harapan akan resiprositas. Do what you want others do to you, kurang lebihnya begitu.

Saat ini, ketika hubungan manusia tidak lagi terikat pada pola tatap muka, penghargaan tetap tidak tergantikan. Di fesbuk, misalnya, saya sering perhatikan bagaimana orang senang berkomentar dan berharap dikomentari balik, dengan positif tentunya. Sementara di twitter, saya juga sering lihat bagaimana orang memfollow dan berharap difollow balik. Lebih jauh dari itu, saya suka perhatikan bagaimana sharing foto, quotes, words of wisdom, dan notes of opinion menjadi salah satu sarana untuk mendapatkan tidak hanya perhatian tapi juga penghargaan, di samping tujuan untuk berbagi tentunya.

Penghargaan melahirkan kebanggaan. Bangga bahwa dirinya diakui oleh lingkungannya. Kebanggaan melahirkan kepercayaan diri. Dan dari semua sumber rasa percaya diri, rasa bangga yang dibangun oleh keluarga adalah yang utama. Seseorang boleh saja mendapatkan cacian dari lingkungannya, tapi selama ia masih mendapatkan pengakuan dari keluarganya, selama ia masih menerima penghargaan dari pasangannya dan anak-anaknya, ia masih bisa mempertahankan kebanggaan dirinya. Namun ketika tak seorangpun, bahkan keluarganya sekalipun, mampu menghargainya, di titik itulah manusia akan tersadar bahwa kebanggaan bukanlah sesuatu yang ia ciptakan sendiri, melainkan pemberian diam-diam dari Sang Pemilik Kehormatan. Atas kehendak NYA sajalah ia mendapatkan penghargaan dari lingkungannya dan mendulang pengakuan dari kerja yang dilakukan di bawah izin NYA, lain bukan.



foto: dokumentasi pribadi

Friday, April 19, 2013

Impian, Cita, dan Angan

Di salah satu novel terlaris pernah disebutkan: bermimpilah, maka Tuhan akan memeluk mimpi-mimpimu. Di tempat lain disebutkan, gapailah cita-citamu setinggi bintang di langit. Jika kau tak mampu meraihnya, setidaknya kau telah sematkan citamu di antara ketinggian bintang. Sementara petuah bijak menyampaikan agar kita tidak panjang angan. Apa beda impian, cita, dan angan?

Kata impian sebenarnya berbagi persamaan dengan kata cita. Keduanya mengandung makna harapan akan sesuatu. Namun, kata impian berbeda dengan kata cita dalam tiga hal. Pertama, sementara cita mengandung target yang ingin dicapai melalui langkah terencana, impian memiliki orientasi yang lebih sulit untuk dicapai meski tidak mustahil. Kedua, sementara cita bergerak di level kesadaran, impian bergerak di level bawah sadar. Ketiga, sementara cita menuntut upaya diri lebih dalam usaha mencapai target yang diharapkan, impian percaya bahwa ada faktor lain di luar diri pribadi yang berkontribusi dalam terealisasinya harapan itu kelak. Bagi sebagian orang, faktor lain itu adalah Yang Maha Berkehendak, sementara bagi sebagian orang lainnya, faktor lain itu adalah alam. Semua kembali ke keyakinan masing-masing.

Nah, berbeda dari arti kata impian maupun cita, kata angan mengandung makna yang sebenarnya cenderung negatif karena angan bersifat semu, tidak realistis. Angan juga sering disebut sebagai mimpi di siang bolong. Itu artinya, impian yang tidak disandarkan pada kenyataaan pun sedianya jatuh menjadi sekadar angan. Impian yang sejati diawali kesadaran sebagai makhluk dan kebutuhan akan kekuatan yang bersifat beyond human, namun impian di siang bolong justru diawali kesombongan (jika bukan kebodohan) memandang diri superhuman kemudian diikuti dengan ketidakmampuan mengukur diri dan melihat batasan yang dimiliki. Astaghfirullahal adziim ...

Meskipun terkesan sederhana, tanpa adanya mawas diri pengetahuan yang sudah given ini bisa dengan mudahnya terlupakan ... Naudzubillahi min dzalik.


foto: dokumentasi pribadi

Tentang blog ini ...

Tentang blog ini ...

Seperti terlahir kembali. Itulah kata-kata yang paling tepat untuk menggambarkan kondisi ketika seseorang mendapatkan kembali hidupnya melalui kesempatan kedua.

Taukah kau makna kesempatan kedua?
Jangan katakan kau tau maknanya jika kau tak pernah tau rasanya kehilangan kesempatan pertama.

Faktanya, mungkin tidak banyak orang yang dalam hidupnya pernah mengalami kejatuhan, lalu dengan susah payah bangkit dan berusaha berjalan lagi dengan mengenggam kesempatan kedua.

Beruntunglah orang yang hidup cukup dengan satu kesempatan saja, tanpa perlu mengalami kejatuhan dalam hidupnya. Tapi, sekalipun kurang beruntung, orang yang pernah jatuh namun berusaha bangkit lagi adalah orang yang patut mensyukuri kesempatan baru yang didapatkannya.

Kesempatan kedua adalah harta. Tentang masa yang lebih berharga, tentang langkah yang lebih hati-hati, dan senandung cinta di pagi hari.

Kesempatan kedua adalah harapan. Harapan yang lebih baik tentunya, tentang diri dan keluarga, tentang karir dan cinta, tentang martabat dan manfaat.

Kesempatan kedua adalah kebaruan. Kebaruan dalam tekad, kebaruan dalam semangat, kebaruan yang lebih khidmat.

Kesempatan kedua adalah doa ... dalam langkah, dalam senyap, dalam harap.