Friday, May 31, 2013

Belajar Masak #4 Cup Cake Kurma, topping keju

Hari ini mendemomasakkan kembali resep cup cake kurma, tapi kali ini toppingnya pakai keju. Alhamdulillah, meski tanpa supervisi Tante Uyuy, cup cakenya jadi! terus, alhamdulillahnya lagi, anak-anak juga suka ^^


foto: aseli cup cake buatan sendiri!

Thursday, May 30, 2013

Belajar Menulis #1 Ide Datang, Ide Melayang

Sebagai blogger pemula, saya suka bingung mau menulis apa. Rasanya kegiatan yang saya jalani biasa-biasa saja, tidak ada yang istimewa. Mungkin karena masih belajar memupuk kebiasaan menulis, jadi saya masih sering kebingungan mengolah hal yang biasa menjadi istimewa.

Abi, komentator dan motivator terbaik saya, mengatakan, menulislah sesuai ide yang terlintas di pikiran. Hmmm, masalahnya ide pun sering kali tak kunjung datang. Seakan-akan bersembunyi, dicari-dicari tetap saja sulit ditemukan. 

Anehnya, saya sering sekali merasakan, justru pada waktu-waktu di mana saya sibuk mengerjakan hal lain dan bersifat urgen, ide mengalir lancar tanpa diundang. Hari senin siang, saat saya dalam perjalanan menjemput si sulung, misalnya, tanpa ada angin dan hujan, tiba-tiba saja ide sudah nangkring dengan manisnya di kepala saya. Saya merasa antusias, sampai-sampai ikut berusaha terlibat dengan mengembangkan 'kalau begini ... kalau di tambah itu ... aaah! kalau jadi seperti ini ... '. Tapi waktu saya sampai rumah, ide yang tadinya sudah kriuk tiba-tiba jadi melempem. Gara-garanya, ketika saya duduk di depan komputer saya ingat bahwa saya masih punya utang pekerjaan yang belum saya lunasi. Duh.

Sekarang, setelah saya selesaikan utang saya, entah kenapa ide yang dulu mampir itu tiba-tiba melantur, menguap dan hampir menghilang. Ingin sekali saya bisa menangkap utuh gagasan yang sama ... hup, hup.

Ketika saya mengeluhkan tentang hal ini kepada Abi, kembali ia memotivasi saya dan mencoba memberi solusi. Dia bilang, masalah saya ini klasik dan bisa diselesaikan dengan cara klasik juga: rajin mencatat. Saya memang belum punya kebiasan ini. Dulu saya punya satu buku kecil khusus untuk mencatat ide-ide yang sempat bertengger di kepala saya, tapi kemudian saya dihinggapi lupa. Lupa dimana menyimpan bukunya. Akhirnya pe-er saya malah bertambah: lupa ide dan lupa menyimpan buku ide. Shhh ...


foto: dokumentasi pribadi



Wednesday, May 22, 2013

Belajar Masak #4 Cup Cake Kurma, topping coklat meses

Hari ini mau bikin tulisan tentang muslim di India, tapi entah kenapa baru setengah jalan, trus dihadang rasa malas meneruskannya. Konon, orang harus melakukan sesuatu yang berbeda untuk memutus kejenuhan atau makan sesuatu yang bikin semangat kembali, seperti ... coklat! Waktu buka kulkas mau cari coklat, tiba-tiba mata tertumbuk pada kurma. Duh, iya ya, di kulkas masih ada sisa kurma, padahal ... psst, itu tuh sisa dari lebaran tahun lalu (jleger!!!).

Melihat kurma yang teronggok tanpa daya, Tante Uyuy yang kebetulan sedang main ke rumah tiba-tiba punya ide bikin cup cake kurma. Setelah diolah, ternyata hasilnya enyak enyak enyak ... alhamdulillah, kurmanya bisa dimanfaatkan. Meskipun sekarang kurmanya masih tersisa 300 gram lagi, tapi setelah anak-anak dan Abi ngga berhenti cemal-cemil cup cake, saya jadi bersemangat untuk mencoba-coba resep lainnya yang berbahan kurma ... *semoga semangatnya ngga anget-angetan, xixixi*. 

O ya, terima kasih buat Tante Uyuy yang sudah membagi resep cup cake kurmanya ...

Bahan-bahan:
- telur 3 butir, dipisah kuning dan putihnya
- tepung terigu 150 gram
- gula halus 100 gram (kalau isinya bukan kurma, mungkin gula halusnya bisa ditambahkan, tapi karena kurma sudah manis, jadi gula halus cukup antara 80-100 gram saja).
- soda kue, 1 sendok teh
- baking powder, 1 sendok teh
- margarin, 200 gram
- kurma, keluarkan bijinya, potong dadu kecil-kecil

Untuk topping:
bebas, boleh dengan atau tanpa topping.
Jika ingin topping, bisa gunakan coklat meses atau parutan keju

Cara membuat:
(1) margarin dan gula halus dimixer hingga berwarna agak putih
(2) campur dengan kuning telur, tepung terigu, soda kue, dan baking powder, gunakan spatula untuk meratakan campurannya.
(3) sementara itu, putih telur dikocok terpisah dengan kecepatan tinggi hingga mengembang dan berbuih
(4) campurkan adonan (2) dengan (3), gunakan spatula untuk meratakannya
(5) masukkan kurma
(6) Siapkan cetakan muffin dan kertas cupcake, masukkan adonan akhir hingga memenuhi 3/4 cetakan
(7) Untuk topping, karena di kulkas ngga ada keju, jadi kali ini kami pakai coklat meses.
(8) panggang selama kurang lebih 15-20 menit.

Hasilnya ... meskipun mesisnya masih berantakan, tapi rasanya pas, matengnya juga rata. Kalau penampilan mungkin masih jauh dari pro yaaa ... tapi yang penting anak-anak sama Abi suka. Alhamdulillah!


foto aseli, hasil bikinan kue sendiri!





Tuesday, May 21, 2013

Belajar Masak #3 Nugget

Membuat nugget ternyata mudah lho. Baru tau saya ...
Bahannya cuma daging (boleh ayam, sapi, atau ikan), roti, dan campuran tambahan (boleh sayuran atau jamur). Kali ini, karena di kulkas ada ayam cincang, roti, dan jamur, jadilah tiga bahan itu yang diramu untuk membuat nugget.

Untuk lengkapnya, bahan-bahan yang diperlukan seperti ini:
- daging cincang, kalau pakai ayam beli yang bagian dadanya saja biar dapat banyak dagingnya (o ya, tulangnya jangan dibuang, tapi disimpan, bisa dipakai buat bikin air kaldu)
- roti 6-7 lembar, disobek kecil-kecil
- jamur 250 gr, dipotong kecil-kecil (jamur bisa diganti dengan sayuran seperti wortel, brokoli, bayam, dll.)
- telur 2 butir
- bumbu yang dihaluskan: bawang putih dan merica
- margarin, untuk melumuri loyang

untuk kulit luar:
- telur 3 butir, dikocok
- tepung roti

cara membuat:
- daging cincang dan telur diblender
- campur dengan roti dan jamur, aduk rata hingga membentuk adonan
- masukkan ke dalam loyang yang sudah dilumuri margarin. kukus hingga matang
- setelah didinginkan, potong menurut bentuk dan ukuran yang diinginkan lalu lumuri dengan telur dan tepung roti. masukkan ke dalam wadah tertutup, simpan di freezer.


foto: aseli nugget bikinan sendiri!

Tuesday, May 14, 2013

Pergi ke Museum

Belum lama ini Abi mengajak saya dan anak-anak mengunjungi museum milik keluarga kraton Solo. Saat berangkat, Abi mengatakan kepada anak-anak bahwa kami akan berangkat ke kota yang pernah bersaudara dengan Jogja. Anak-anak sibuk menebak-nebak kota apakah yang hendak dituju. Ketika sampai Solo, anak-anak berpikir bahwa permainan sudah selesai, tapi ternyata Abi membawa kami ke kraton dan museumnya. Di sini, permainan justru baru dimulai.

Si sulung mengambil peran sebagai juru foto yang mendokumentasikan apa-apa yang kami lihat di kraton dan di museum. Sementara si bungsu yang baru bisa membaca, diminta untuk membacakan informasi yang tertera pada tiap barang yang dipajang di museum. Anak-anak terlihat senang dan gembira. Kebetulan memang sudah agak lama kami tidak mengunjungi museum.

Banyak hal yang bisa kami lihat dan kami jadikan catatan dari perjalanan ke kraton dan museum kemarin. Beberapa catatan justru datang dari pertanyaan anak-anak. Anak-anak misalnya bertanya tentang Pangeran Diponegoro yang patungnya dipajang di salah satu ruangan museum dan bangunan besar serupa menara di salah satu sudut kompleks keraton. Saya mencoba menjawab sebisa saya dengan mengatakan bahwa keraton Solo dan keraton Jogja memiliki silsilah sejarah yang sama dan bangunan kraton yang mirip satu sama lain, namun karena campur tangan asing mereka terpisah menjadi dua kerajaan kecil

Anak-anak juga bertanya tentang kondisi museum yang berdebu dan banyaknya sampah di sekitar kompleks kraton. Saya hanya bisa mengatakan bahwa, semakin banyak orang pandai belum tentu semakin santun sikapnya terhadap lingkungan. Diperlukan lebih dari sekadar kepandaian agar seseorang bisa bersikap peduli dan bijaksana. Allah Maha Tahu betapa sedih hati saya ketika saya menjawab pertanyaan si sulung dengan jawaban ini.

Perjalanan yang direncanakan Abi kemarin benar-benar memberi anak-anak kesempatan berekreasi sekaligus belajar. Saya ingat, waktu saya kecil dulu pun, pergi ke museum selalu menjadi tujuan favorit saya. Pengalaman pertama pergi ke museum gajah ketika kanak-kanak dulu benar-benar meninggalkan kesan yang menyenangkan buat saya. Waktu itu, buat saya, museum menyimpan kisah dan misterinya sendiri ... tapi alih-alih horor, kisah dan misteri itu justru bersifat penuh rahasia sehingga mengundang keingintahuan saya.

Konsep saya tentang museum agak bergeser ketika saya bersama teman-teman sekolah mengikuti karya wisata ke museum lubang buaya, museum nasional, dan museum mandala wangsit siliwangi. Saat itu saya mulai melihat museum sebagai sebuah tempat angker yang memiliki asosiasi dengan dorongan untuk menang, memimpin, atau berkuasa. Meski agak berbuntut panjang, konsep saya yang lama tentang museum dengan segera mengalami recovery setelah saya mengunjungi museum geologi bandung.

Di akhir masa remaja saya, dari beberapa kali kunjungan saya ke museum, saya pun mulai membanding-bandingkan bahwa museum sejarah modern seperti lubang buaya, mandala wangsit siliwangi, dan museum nasional, mengandung sisi kelam yang berkonotasi pembantaian, perang, dan kekuasaan. Sementara museum pra sejarah justru memancarkan kekayaan sejarah masa lampau yang alih-alih penuh dengan kekerasan justru kental dengan lapis budaya penuh makna. Entahlah, mungkin karena saya hidup di alam sejarah modern sehingga mempengaruhi kesan saya terhadap kedua jenis museum ini pun berbeda sekalipun keduanya sama-sama menyimpan kisah sejarah bangsa ini.

Terlepas dari alasan apa pun yang melatarbelakangi perbedaan kesan yang saya rasakan, saya selalu percaya bahwa wisata museum adalah wisata yang harusnya tidak hanya masuk dalam kurikulum di sekolah, tapi juga dalam daftar kunjungan rekreasi keluarga. Saya percaya tugas orangtua bukanlah menjadi pemberi seluruh informasi sejarah yang terkandung dalam benda-benda yang dimuseumkan, tapi memberi bekal eksposure yang cukup bagi anak agar mereka tidak melupakan sejarah bangsanya dan, yang lebih penting lagi, agar mereka mengambil kebijaksanaan dari pelajaran sejarah di masa lalu maupun masa kini.


foto: dokumentasi pribadi


Wednesday, May 8, 2013

Pergi ke Perpustakaan Kota

Di hari ketiga si sulung libur, saya meminta anak-anak untuk memutuskan apakah ingin praktik memasak lagi atau ingin pergi ke perpustakaan kota. Saya juga meminta anak-anak menyiapkan alasan untuk keputusan yang dibuatnya. Anak-anak ternyata memutuskan pergi ke perpustakaan kota. Si sulung beralasan, sudah lama ia tidak ke perpustakaan kota. Jadi ia ingin sekali pergi lagi ke sana dan meminjam buku-bukunya. Sementara si bungsu yang baru bisa membaca mengatakan, ia ingin ke perpustakaan kota agar bisa mendaftar menjadi anggota dan memiliki kartu untuk meminjam buku seperti yang dimiliki kakaknya. Baiklah, keputusan sudah dibuat.

Tepat jam 8.30 pagi tadi kami berangkat. Si sulung segera memberitahu adiknya dimana lokasi buku-buku anak-anak berada. Berdua mereka berjingkat-jingkat ke lantai atas dan mencari buku 'baru' untuk dibaca. Saya sendiri menyibukkan diri dengan membaca majalah yang akhir-akhir ini makin saya nikmati membacanya. Berbeda dengan buku-buku teks yang dulu saya baca, membaca majalah benar-benar merefresh pikiran. Saya masih suka terkagum-kagum dengan majalah: meski tanpa segudang teori, namun artikel-artikel yang ditulis dengan bahasa yang ringan dan foto-foto yang ditampilkan dengan warna-warna segar di majalah mampu mengalirkan informasi tanpa mengurangi esensi. Ingin sekali saya bisa menulis di majalah dan dibaca tulisannya oleh banyak orang, alih-alih menulis di jurnal dan dibaca oleh hanya sedikit orang yang seringkali hanya tertarik mencari perdebatan, bukannya kebenaran.

Menjelang dzuhur, saat perut mulai tanjidor-an, anak-anak meminta pulang. Sebelum pulang, si bungsu difoto dan mendapatkan kartu anggota perpustakaan yang diidamkannya. Jika saja tadi ia tidak jatuh saat belari mengejar si sulung, pastilah sepanjang jalan menuju pulang ke rumah ia tersenyum tak habis-habisnya menunjukkan rasa puas mendapatkan kartu identitas pertamanya. Belum juga saya berhenti membayangkan kegembiraan si bungsu, sesampainya di rumah, ia segera memamerkan kartu barunya kepada eyangnya sebagai 'kartu kredit'. Ah, dasar, anak-anak ^!!^


foto: dokumentasi pribadi

Monday, May 6, 2013

Belajar Masak #2 Kroketballen

Sesudah 'berhasil' bikin biji ketapang, hari ini rencananya mau bikin kroketballen. Minggu lalu sebenarnya saya dan si bungsu sudah mencoba praktik resep yang sama, tapi karena ngga punya susu segar jadi pake susu bubuk berperisa ... hasilnya, oh oh oh ngga enak ternyata. Karena masih penasaran, jadi pengin coba buat lagi ... kebetulan di kulkas masih ada sisa susu segar sama tepung roti. Jadi, mari kita berusaha buat sekali lagi.

bahan-bahan:
- wortel, potong dadu kecil2
- ayam cincang (bisa diganti kornet, daging cincang, udang cincang, sesuai selera)
- daun bawang, iris sedang
- margarin untuk menumis
- susu segar 1 gelas
- kentang, dikukus dan dihancurkan
- bawang bombay, iris halus
- merica halus
- garam secukupnya

bahan kulit luar:
- telur 3, dikocok
- tepung roti

cara memasak:
(1) panaskan margarin, masukkan bawang bombay, ayam cincang, dan wortel, masukkan merica halus dan garam secukupnya
(2) setelah matang, masukkan daun bawang, ratakan
(3) masukkan susu segar, aduk-aduk hingga adonan mengental lalu matikan api
(4) setelah adonan dingin, campurkan dengan kentang yang sudah dihancurkan, pulungi campuran adonan membentuk bulatan (bola-bola atau bulat memanjang, bisa sesuai selera)
(4) setelah dipulung menurut bentuk yang diinginkan, cemplungkan (elho, bahasanya berantakan#?!) ke dalam kocokan telur, lalu guling-gulingkan (berantakan lagi deh#?!) ke tepung roti, goreng di api panas sedang

Fotonya harusnya di sini, tapi karena laku keras, jadi ngga ada yang tersisa untuk diambil fotonya. Piss.






Sunday, May 5, 2013

Belajar Masak #1 Biji Ketapang

Sejak kemarin saya terpikir untuk mencoba resep kue yang mudah untuk mengisi waktu libur si sulung.   Setelah mencari-cari resep, saya temukan resep kue kering tradisional Betawi, kue biji ketapang di rubrik kuliner majalah femina online. Kebetulan di kulkas masih ada sisa parutan kelapa dan susu segar,  jadinya bisa dimanfaatkan sekalian.

Meskipun awalnya ogah-ogahan, tapi karena mencium wangi kelapa sangrai, si sulung akhirnya ingin tau dan ikut membantu saya dan si bungsu yang sudah terlebih dulu sibuk membuat persiapan di awal. Si bungsu yang selalu antusias dengan acara masak-memasak sibuk menyiapkan semua bahan: 100 gr gula pasir, 300 gr tepung terigu (diayak), 75 gr kelapa parut (sangrai), 50 ml susu cair, 50 ml margarin (lelehkan), 1 butir telur, dan garam secukupnya. Sementara saya menyiapkan bahan-bahan mentah untuk diayak, disangrai, dan dilelehkan, saya membiarkan si bungsu untuk mengocok gula, telur, dan margarin. Setelah tercampur rata saya lalu campurkan dengan tepung terigu, susu, kelapa parut, dan garam. Hasilnyanya adalah adonan yang siap untuk dipulung panjang, dipotong miring, dan digoreng.

foto: aseli bikinan sendiri






Friday, May 3, 2013

Majalah dan buku bekas (Bagian 1 dari 2 Tulisan)

Sekitar tiga minggu yang lalu saya membeli majalah bekas dalam jumlah yang cukup banyak. Saya senang membeli majalah bekas karena, selain harganya yang murah, saya bisa membeli majalah sesuai dengan topik yang menjadi perhatian saya. Di samping itu, majalah bekas juga banyak yang dijual dalam keadaan terbungkus plastik, alias masih baru. Lagipula, karena bukan koran, isi majalah juga tidak pernah basi. Pendeknya, membeli majalah bekas itu klop dengan selera dan kebutuhan saya.

Kalau buku bekas, saya sudah lama sekali tidak membelinya. Entahlah, mungkin karena kehadiran internet sebagai sumber informasi yang, meski tidak bisa selalu dipercaya, namun relatif murah dan aksesibel sehingga saya dibuat nyaman dengan kebiasaan memamah informasi yang membanjir namun seringkali tak-utuh itu. Dulu, karena belum ada internet dan untuk menghemat kiriman orangtua, berburu buku bekas--baik untuk referensi mengerjakan tugas atau untuk asupan bacaan--mutlak dilakukan agar tidak mengalami kebangkrutan di tengah bulan.

Di Jakarta, lapak buku bekas di emperan jalan yang saya tau masih bisa ditemui di sekitar Senen dan Kwitang meski jumlahnya sudah banyak berkurang dari jaman saya kecil dulu. Kalau toko buku bekas, saya hanya tau dua saja, di daerah TIM dan di lantai bawah Pasar Festival. Terakhir saya sambangi yang di TIM empat tahun lalu, sewaktu menunggu jam buka loket penjualan tiket untuk pertunjukan drama musikal anak-anak. Tapi, yang di Pasar Festival tampaknya malah sekarang sudah tutup atau mungkin pindah lokasi saja.

Meski berbeda dengan emperan yang biasa saya sambangi di jaman sekolah dulu, tapi sensasi yang muncul dari lapak buku bekas selalu sama. Mengubek-ubek tumpukan atau deretan buku dan majalah bekas untuk mencari satu tema yang dicari ataupun dinanti itu benar-benar ... sesuatu. Bagaimana tidak, jika toko buku modern menawarkan efisiensi untuk pencarian di rak mana lokasi buku berada melalui bantuan mesin pencari, lapak buku bekas biasanya menawarkan kebalikannya ... dan, bagi saya, itulah keunggulannya. Di zaman ketika orang ingin segalanya serba mudah dicapai, serba cepat diraih, orang yang menyambangi lapak buku bekas harus menyiapkan tidak hanya tenaga tapi juga waktu dan kesabaran untuk menemukan apa yang dicari.

Entah dengan orang lain, tapi bagi saya, kesenangan saat berhasil menemukan buku yang saya cari di lapak buku bekas tidak bisa disamakan dengan kesenangan menemukan buku yang saya cari di toko buku. Pernah sekali waktu, saya berhenti di Cikapundung untuk melihat-lihat buku bekas yang terlindung plastik dari debu-debu di emperan jalan. Tidak ada niatan untuk membeli buku karena uang di saku hanya 23 ribu. Kalau dipaksakan membeli buku pastinya tidak akan ada sisa ongkos pulang. Namun ada 2 judul buku yang masih baru, rapi tersampul plastik, tanpa coretan di dalamnya, dan temanya sungguh menarik hati.

Setelah lama membolak-balik dan membaca beberapa lembar isinya, bapak itu menyebutkan harganya.
"satu bukunya 15.000 aja, Neng."
Sambil permisi saya katakan, "wah, uang saya tidak cukup, Pak. Maaf. Lain kali saya akan kembali."

Namun bapak itu malah ingin melepaskan buku itu dengan harga seberapa pun yang saya mampu. Menurutnya, "baru 10 menit yang lalu buku ini didrop pemilik lamanya, Neng. Bukunya pasti bagus ya, Neng, soalnya jarang-jarang ada buku yang baru hitungan menit sudah ada yang mau begini."

Saya katakan, bukunya memang bagus. Tapi saya juga bilang, uang saya pasti tidak akan cukup untuk menutup modalnya membeli buku ini dari tangan sebelumnya.
Namun bapak itu bersikeras, "biar ngga apa-apa, Neng. Rejeki sudah ada yang atur. Selama masih ada usaha, insyaAllah ngga akan rugi. Lagian, buku bagus banyak yang cari. Kalau lain kali Neng main ke sini lagi, belum tentu bukunya masih ada sama bapak."

Betul juga, pikir saya. Lalu sambil mengambil selembar 20-ribuan, saya katakan bahwa saya hanya akan ambil 1 buku saja.
Bapak itu kembali bersikeras. "Ambil 2, saya kasih 20.000 ya?" tanyanya retoris. Lalu ia buru-buru menyimpan 2 buku itu ke dalam plastik.
"Tapi uang itu kan masih kurang, Pak. Nanti saya hutang," kata saya.
"Uang 20.000 itu sudah lunas kok. Yang penting bukunya dibaca," tandasnya.

Di sepanjang jalan pulang, di angkot, saya tidak habis mensyukuri apa yang baru saja saya peroleh. Bukan karena mendapatkan harga semurah-murahnya, tapi karena pelajaran penting tentang makna menjadi kaya. Ternyata, orang yang kaya bukanlah orang yang banyak uangnya, tapi orang yang dalam keterbatasannya masih mampu memberi kepada yang lainnya. Saya mungkin tidak akan mendapatkan pelajaran sepenting ini jika saya hanya tau menyambangi toko buku modern yang justru meraup keuntungan dengan menarik biaya display setinggi-tingginya dan menimpakan beban biaya ini kepada para pembeli setianya.

Meski tidak semua pemilik lapak buku bekas memikili kekayaan seperti bapak yang saya temui dulu, tapi setidaknya di lapak buku bekas orang masih bisa menemukan ekspresi kemanusiaan yang spontan, yang--di zaman kemasan seperti sekarang--semakin jarang dijumpai. Dan, meski tidak semua lapak buku bekas menawarkan harga buku yang murah, terutama jika buku yang dijual bersifat collectible, namun saya yakin masih banyak buku-buku bekas yang dijual dalam harga miring dibandingkan harga di toko buku umumnya. Namun, saat ini, ketika interaksi orang diminimalkan oleh komputer, barcode, dan papan informasi, lapak buku bertahan pada mode komunikasi yang dinamis di antara penjual dan pembeli. Dan ketika segala hal direduksi menjadi sekadar transaksi jual beli, di lapak buku bekas seseorang bahkan bisa mendapatkan tidak hanya buku yang dicari tapi juga keakraban bahkan, tak jarang, pertemanan yang karib di antara pemilik lapak dan pelanggan-pelanggannya.


foto: dokumentasi pribadi