Saturday, June 30, 2018

Bola-bola nasi

Kemarin sore ada yang salah dengan nasi di rumah. Mungkin karena kurang air, jadi nasi hanya matang di bawah sedangkan di bagian atasnya masih aron. Malamnya, jadilah kami makan mie instan semua.

Pagi ini saya memutuskan untuk membuat nasi goreng, tapi... olala, ternyata tetap saja bagian nasi yang belum matang tidak bisa diupgrade menjadi lebih matang, sementara nasi yang matang malah menjadi lembek.

Melihat keadaan ini, si tengah yang kami daulat sebagai chef sibuk mencari ide untuk mengolah nasi tadi. Setelah beberapa waktu mendiskusikan kemungkinan ini dan itu, akhirnya ia memutuskan mengolahnya menjadi bola-bola nasi.

Dengan bantuan kakaknya, sang chef sibuk di dapur mengoordinir persiapan pembuatan bola-bola nasi. Sementara ia menyiapkan bumbu-bumbunya, kakaknya membantu menyiapkan bahannya. Sederhana lho, ternyata. Bahannya hanya bawang bombay yang ditumis bersama potongan wortel yang dipotong dadu kecil-kecil, dicampur parutan keju, merica, dan garam.

Setelah semua bahan dan bumbu matang, lalu dicampurkan ke nasi goreng yang gagal dimasak hingga rata. Setelah itu, mereka buat bulatan bola-bola yang diisi dengan potongan keju. Membayangkan kejunya, langsung menetes air liur saya. Hahaha.

Bola-bola yang sudah terbentuk lalu dicelupkan ke dalam kocokan telur dan digulingkan di atas gundukan tepung roti. Sayang, kami harus menunggu sedikit lebih lama karena bola-bola nasi yang sudah diselimuti tepung roti ini baru bisa digoreng setelah disimpan di freezer selama setidaknya 1 jam.

Tapi, ah, ternyata penantian 1 jam itu terbayarkan sudah. Sore ini kami bisa menikmati nasi yang hampir saja mubadzir terbuang menjadi bola-bola nasi berisi keju yang lezat. Nyammm. Alhamdulillah ^_^

Tuesday, June 26, 2018

Pilkada 2018

Hari ini berkah untuk semua pegawai karena pilkada serentak dilakukan di seluruh kota di Indonesia. Meskipun di Jogja tidak ada pilkada, tapi Jogja juga kecipratan liburnya. Di Jogja, pemimpin daerah tidak dipilih, melainkan ditetapkan sebagai Gubernur sekaligus Sultan dengan Undang-Undang Keistimewaan. Apa iya Jogja Istimewa? Biasanya orang Jogja mesam-mesem kalo dibilang Jogja Istimewa, tapi rasanya kok biasa saja, ya.

Dulu memang saya pikir Jogja istimewa. Bagaimana tidak. Cuma di Jogja saya masih bisa dapati iring-iringan pesepeda di jalan-jalan utama kota. Itu masa ketika saya masih kecil dan beberapa kali Jogja menjadi tujuan utama keluarga kami di saat musim liburan sekolah. Perasaan yang sama masih saya rasakan ketika saya kuliah di Bandung dan sesekali berkunjung ke Jogja untuk melepas kangen dengan kakak. Jogja di masa itu juga menjadi kiblat kerja intelektual untuk penerbitan buku-buku terjemahan dengan tema-tema progresif.

Sekarang, apa kabar Jogja? Banyak yang berubah dari Jogja. Lebih banyak hotel, lebih banyak mal, lebih banyak apartemen, lebih banyak hiburan malam, dan lebih banyak kemacetan juga. Sementara waterboom bermunculan di mana-mana, di berita disebutkan banyak kecamatan di Jogja yang mulai mengalami kekeringan. Sementara amusement park dibangun di hampir semua kabupaten kota sebagai wahana rekreatif berbayar, belum ada inisiatif untuk membuat community park yang bisa diakses dengan mudah, tanpa harus membayar, di Jogja.

Kecuali di Malioboro, ruang publik di Jogja terbilang minim bila dibandingkan dengan kota besar seperti di Bandung, dimana ruang-ruang publik tersebar di banyak titik di penjuru kota. Terlepas dari banyaknya kritik yang dialamatkan kepada walikota Bandung untuk pendekatan pembangunan kotanya yang dianggap middle-class-oriented, kok saya malah melihat orientasi pembangunannya lebih inklusif, ya, karena mengakomodasi kebutuhan dan partisipasi komunitas lokal yang bersifat lintas-kelas. Lihat saja taman-taman di Bandung yang ketika lebaran tahun ini menjadi salah satu destinasi rekreatif yang murah. Lihat juga fasilitas edukasi publik yang disediakan di taman-taman tersebut yang mengajarkan pengunjung tentang kesehatan, hidroponik, urban gardening, sejarah kota Bandung di masa lalu, visi pembangunan kota Bandung di masa depan, dan masih banyak lagi. Pembangunan taman yang bersifat tematik juga bisa dilihat sebagai bentuk edukasi publik yang efektif untuk menajamkan masyarakat dengan isu-isu sosial kontemporer di sekitar mereka, bahkan cara-cara yang mungkin didesain untuk mebangun resiliensi kota dalam menghadapi isu-isu tersebut.

Entahlah, agak jomplang rasanya ketika saya membandingkan arah pertumbuhan kedua kota ini. Padahal kalau dipikir-pikir dua-duanya sama-sama gudang pemikir di Indonesia, masyarakatnya juga sama-sama kreatif, tapi keluarannya kok bisa beda, ya. Mungkin memang perlu visi yang lebih terarah dari pemimpinnya. Tapi, aduh, siapa saya yang bisa ngomong begini? Mending beberes, ah.


Monday, June 25, 2018

Belajar membaca (lagi), bagian 1

Akhirnya, selesai juga persiapan materi untuk si bungsu belajar membaca. Puas rasanya. Dengan kartu huruf warna-warni, materi belajar membacanya menjadi lebih menarik dan mudah dipahami.

Sebenarnya ada banyak cara praktis untuk mengajari anak membaca. Cara paling praktis mungkin memasukkan anak ke tempat les membaca lalu saya tinggal menikmati hasil belajar anaknya saja. Tapi, karena si mamak sangat berhitung... termasuk berhitung quality time yang terlalu berharga untuk dilewatkan begitu saja, jadilah saya putuskan untuk mengajari sendiri si bungsu membaca.

Sejak berhasil mengajari kakaknya belajar membaca, saya sekarang merasa lebih pede mengajari si bungsu membaca. Dulu, 6 tahun yang lalu, saya juga menyiapkan materi yang sama untuk kakaknya belajar membaca. Prinsip dan metodenya sama, hanya pendekatannya yang dibuat lebih fun, seperti bermain game saja layaknya. Saya pikir mungkin harus begitu, supaya lebih bisa bersaing dengan tontonan di tivi, hehehe. 

Prinsip yang saya gunakan untuk belajar membaca adalah pembelajaran bertahap dengan menggunakan bunyi kata. Metodenya dengan kombinasi verbal dan tulisan (menggunakan kartu huruf berwarna). Saya tidak pernah menggunakan bantuan kartu bergambar karena saya mendorong mereka untuk berimajinasi dengan bunyi kata yang mereka dengar. 

Hingga saat ini, si bungsu terlihat menikmati proses belajarnya yang sudah sampai di tahap ke-6. Bukan perjalanan belajar yang pendek juga kalau dipikir-pikir. Apalagi kalau ingat terbatasnya waktu yang saya sediakan di tahapan-tahapan sebelumnya... di antara tugas-tugas kuliah yang hampir tidak ada jeda, sehingga mengajari si bungsu menjadi hiburan yang me-recharge semangat saya.

Ini tahapan-tahapan belajar si bungsu:
(1) belajar alfabet A, B, C, ... sampai Z dengan bantuan lagu.
(2) bermain tebak huruf pertama dari kelompok kata buah atau binatang. Di sini saya mengajari anak untuk mengenali bunyi huruf konsonan yang dimatikan. Misal: eB... beruang, eJ... jerapah, es... Serigala, dst.
(3) mengenal bentuk huruf A, B, C, ... sampai Z dengan bantuan kartu. Saya mengajari anak mengasosiasikan bentuk huruf dengan bentuk benda yang mudah dikenali. Misal: huruf H dengan tangga, huruf O dengan donat, huruf J dengan gagang payung, dst.
(4) bermain tebak huruf dengan bantuan buku, majalah, papan reklame di jalan, poster, dst.
(5) mengeja kombinasi huruf konsonan dan vokal dengan bantuan kartu huruf. Misal: ba, bi, bu, be, bo // ca, ci, cu, ce, co // da, di, du, de, do // ... dst.
(6) bermain mengeja suku kata dan kombinasi 2 suku kata dengan bantuan kartu berwarna (lihat foto). Misal: u-mi // a-bi // mi-o // u-bi // ... dst.

Tentu masih ada tahapan belajar lebih lanjut. Tapi baru sampai di sini ini si bungsu berproses. Semua proses dinikmati saja pelan-pelan. Sebagaimana halnya dia tumbuh, saya juga tumbuh lewat proses belajar ini. Bersama-sama.