Apa ada hubungan antara
menjadi ibu dengan upaya menciptakan perdamaian? Menurut Bunda
Teresa, seorang ibu adalah agen perdamaian aktif di dunia. Kasih
sayang yang ibu berikan kepada keluarganya merupakan bekal yang luar
biasa untuk tumbuhnya jiwa-jiwa pengasih dan penyayang kepada sesama.
“What you can do to
promote world peace? Go home and love your family” - Mother Teresa.
Tapi, bagaimana
sebenarnya peran ibu sebagai agen perdamaian di dunia melalui kasih
sayang di keluarga dapat diterapkan? Apa sih sebenarnya yang bisa
dilakukan oleh para ibu untuk mempromosikan perdamaian di dunia?
Bagaimana pesan indah dari Bunda Tereesa di atas dapat direalisasikan
dalam kehidupan sehari-hari ibu di tengah-tengah keluarga?
Pertanyaan-pertanyaan
tadi tentu mengundang berbagai macam jawaban, sesuai dengan ragam
interpretasi dari masing-masing orang. Ada yang
menginterpretasikannya dengan pilihan menjadi full-time housewife
agar bisa mendedikasikan seluruh waktu, tenaga, dan perhatiannya pada
tumbuh kembang anak dan kebutuhan suami. Ada pula yang
menginterpretasikannya dengan pilihan working at home mom, yakni
bekerja dari rumah agar bisa tetap mengawasi anak-anak dan memenuhi
kebutuhan keluarga. Atau, ada pula yang menginterpretasikannya dengan
pilihan bekerja di luar rumah tapi berusaha memberikan nilai tambah
bagi anak-anaknya melalui berbagai kebiasaan, seperti mendongeng
setiap malam sebelum tidur sembari menanamkan nilai-nilai moral yang
diperlukan anak untuk pertumbuhan psikososialnya kelak. Pesan Bunda
Teresa memang berlaku universal bagi setiap ibu, apa pun latar
belakangnya, namun cara menerjemahkan pesan beliau tentu sejalan
dengan kebutuhan keluarga serta kesanggupan dan kesempatan yang
dimiliki ibu untuk keluarganya.
Seperti halnya pesan
Bunda Teresa adalah peribahasa Arab yang menyebutkan bahwa ibu adalah
sekolah pertama bagi anak-anaknya. Peribahasa itu memang berasal dari
Arab, tapi saya yakin pesannya berlaku bukan hanya untuk orang Arab
atau untuk orang Islam saja (kalimat terakhir ini saya tekankan,
bukan untuk mengonotasikan Islam dengan Arab, tapi justru untuk
menepis anggapan yang menganggap Islam = Arab). Dalam pemahaman saya
yang serba terbatas, peribahasa itu menunjukkan dua hal, yakni (a)
peran penting ibu sebagai mentor di keluarga, dan (b) penentu
pendidikan karakter di keluarga.
Sudah jamak diterima
bahwa seorang ibu adalah muara kasih sayang, tapi sebagai perempuan
yang telah mengalami menjadi anak sekaligus ibu, saya melihat diri saya sendiri penuh dengan kelemahan dan kesalahan. seorang
ibu tetaplah manusia yang tidak bebas dari kekurangan.
Namun, terlepas dari segala kelebihan dan kekurangannya, saya percaya
setiap ibu punya keinginan sama: memberi bekal yang cukup kepada
anak-anaknya agar mereka menjadi pribadi yang lebih baik dari dirinya
sendiri. Itulah sebabnya, di samping intuisi dan pengetahuan, bekal
menjadi guru bagi seorang ibu adalah pengalamannya, yang baik maupun
yang buruk. Dari bekal intuisi, pengetahuan, dan pengalaman itulah,
ibu melancarkan materi, pendekatan, dan metode yang tepat bagi
pendidikan karakter anak-anaknya. Di tangan seorang ibu, pendidikan
karakter anak tumbuh pertama kali, termasuk bagaimana seorang anak
belajar menghargai usaha dan kemampuan diri sendiri, merayakan
perbedaan, menghormati seorang perempuan, hingga menempatkan nilai
spiritualitas vis-a-vis materi dalam kehidupan. Dengan dasar-dasar
karakter inilah, seorang ibu berperan penting dalam menciptakan
generasi yang berorientasi perdamaian.