Sunday, February 2, 2014

Ibu, Guru Perdamaian

Apa ada hubungan antara menjadi ibu dengan upaya menciptakan perdamaian? Menurut Bunda Teresa, seorang ibu adalah agen perdamaian aktif di dunia. Kasih sayang yang ibu berikan kepada keluarganya merupakan bekal yang luar biasa untuk tumbuhnya jiwa-jiwa pengasih dan penyayang kepada sesama.

“What you can do to promote world peace? Go home and love your family” - Mother Teresa.

Tapi, bagaimana sebenarnya peran ibu sebagai agen perdamaian di dunia melalui kasih sayang di keluarga dapat diterapkan? Apa sih sebenarnya yang bisa dilakukan oleh para ibu untuk mempromosikan perdamaian di dunia? Bagaimana pesan indah dari Bunda Tereesa di atas dapat direalisasikan dalam kehidupan sehari-hari ibu di tengah-tengah keluarga?

Pertanyaan-pertanyaan tadi tentu mengundang berbagai macam jawaban, sesuai dengan ragam interpretasi dari masing-masing orang. Ada yang menginterpretasikannya dengan pilihan menjadi full-time housewife agar bisa mendedikasikan seluruh waktu, tenaga, dan perhatiannya pada tumbuh kembang anak dan kebutuhan suami. Ada pula yang menginterpretasikannya dengan pilihan working at home mom, yakni bekerja dari rumah agar bisa tetap mengawasi anak-anak dan memenuhi kebutuhan keluarga. Atau, ada pula yang menginterpretasikannya dengan pilihan bekerja di luar rumah tapi berusaha memberikan nilai tambah bagi anak-anaknya melalui berbagai kebiasaan, seperti mendongeng setiap malam sebelum tidur sembari menanamkan nilai-nilai moral yang diperlukan anak untuk pertumbuhan psikososialnya kelak. Pesan Bunda Teresa memang berlaku universal bagi setiap ibu, apa pun latar belakangnya, namun cara menerjemahkan pesan beliau tentu sejalan dengan kebutuhan keluarga serta kesanggupan dan kesempatan yang dimiliki ibu untuk keluarganya.

Seperti halnya pesan Bunda Teresa adalah peribahasa Arab yang menyebutkan bahwa ibu adalah sekolah pertama bagi anak-anaknya. Peribahasa itu memang berasal dari Arab, tapi saya yakin pesannya berlaku bukan hanya untuk orang Arab atau untuk orang Islam saja (kalimat terakhir ini saya tekankan, bukan untuk mengonotasikan Islam dengan Arab, tapi justru untuk menepis anggapan yang menganggap Islam = Arab). Dalam pemahaman saya yang serba terbatas, peribahasa itu menunjukkan dua hal, yakni (a) peran penting ibu sebagai mentor di keluarga, dan (b) penentu pendidikan karakter di keluarga.

Sudah jamak diterima bahwa seorang ibu adalah muara kasih sayang, tapi sebagai perempuan yang telah mengalami menjadi anak sekaligus ibu, saya melihat diri saya sendiri penuh dengan kelemahan dan kesalahan. seorang ibu tetaplah manusia yang tidak bebas dari kekurangan. Namun, terlepas dari segala kelebihan dan kekurangannya, saya percaya setiap ibu punya keinginan sama: memberi bekal yang cukup kepada anak-anaknya agar mereka menjadi pribadi yang lebih baik dari dirinya sendiri. Itulah sebabnya, di samping intuisi dan pengetahuan, bekal menjadi guru bagi seorang ibu adalah pengalamannya, yang baik maupun yang buruk. Dari bekal intuisi, pengetahuan, dan pengalaman itulah, ibu melancarkan materi, pendekatan, dan metode yang tepat bagi pendidikan karakter anak-anaknya. Di tangan seorang ibu, pendidikan karakter anak tumbuh pertama kali, termasuk bagaimana seorang anak belajar menghargai usaha dan kemampuan diri sendiri, merayakan perbedaan, menghormati seorang perempuan, hingga menempatkan nilai spiritualitas vis-a-vis materi dalam kehidupan. Dengan dasar-dasar karakter inilah, seorang ibu berperan penting dalam menciptakan generasi yang berorientasi perdamaian. 




Saturday, February 1, 2014

Apakah Sharing Selalu Berarti Caring?


Beberapa minggu terakhir ini saya dibuat kesal dengan maraknya spamming pesan di jejaring media massa dan media sosial yang berusaha menyebarluaskan fitnah atas diri seseorang atau sekelompok orang dengan menyebutkan mereka sebagai kafir atau sesat. Kekesalan saya muncul bukan karena saya yang difitnah (emang situ siapa? hehehe ...), tapi karena banyak di antara kita yang tidak sadar bahwa ini merupakan skenario besar untuk memecah belah kerukunan beragama di masyarakat. Tanpa sadar juga, kita lalu menjadi bagian dari skenario besar tersebut dengan cara sharing link yang bahkan belum sempat kita kros cek isi dan kebenarannya. Rasanya sharing is caring tidak berlaku jika pesan yang kita sampaikan justru merugikan orang lain, lagipula apa iya mereka yang kita sebut kafir memang benar tersesat atau jangan-jangan malah diri kita yang tersesat karena tidak mampu memilah informasi mana yang benar sehingga percaya begitu saja informasi sepihak yang kita terima. Pelajaran pertama yang saya dapat dari sini adalah: selalu verifikasi berita dan informasi yang sampai sebelum kita sebarluaskan kepada pihak ketiga. Jangan sampai kita malah menjadi distributor berita viral yang bermuatan fitnah.

Sosial media memang memberikan kemudahan bagi setiap orang untuk berbagi informasi dan cerita, namun apa iya semua informasi dan cerita itu layak dipercaya? Tentu, jika informasi yang dibagi positif hasilnya insyaa Allah akan positif tapi jika yang pesan yang dibagi justru mengandung bibit permusuhan dan kebencian bukan tidak mungkin jika hasil yang didulang malah negatif. Naudzubillah. Anehnya, sebagian besar dari tulisan yang marak beredar dan disebarluaskan di fesbuk dengan cara click and share ditulis oleh penulis pertama yang namanya disesaki dengan label dan gelar kehormatan, seperti profesor, doktor, dan semacamnya. Pelajaran kedua yang saya dapat dari sini adalah: jangan pernah meng-under estimate diri sendiri dengan cara menerima begitu saja kebenaran pendapat orang yang dianggap terhormat dan terdidik. Orang pandai belum tentu bijaksana, apalagi terhormat. Kehormatan dan kebijaksanaan seseorang tidak serta merta lahir dari banyaknya titel dan gelar yang melekat di namanya.

Beberapa minggu sebelumnya saya juga dibuat kesal dengan informasi yang saya dapat dari sebuah facebook fanpage parenting yang saya ikuti. Fanpage itu membagi notes yang ditulis salah seorang anggotanya yang isinya berupa peringatan bagi para orangtua agar mewaspadai games di internet yang dengan mudah diakses anak-anak karena mengandung unsur pornografi. Ketika saya coba kros cek kebenaran isi pesan itu dengan cara googling, ternyata saya menemukan beberapa sumber lain yang isinya menunjukan keprihatinan serupa. Itu berarti, pesan pertama yang saya dapatkan tentang bahaya games yang berupaya menyebarluaskan virus pornografi kepada anak-anak telah terverifikasi melalui kros cek dan layak untuk disebarluaskan sebagai peringatan bagi para orangtua lainnya. Pelajaran ketiga yang saya dapat dari sini adalah: Daripada sibuk mencari celah kekurangan kelompok lain dan merasa benar diri dengan menjadi bagian dari mayoritas, lebih baik memberikan lebih banyak perhatian pada urusan anak-anak dan tantangan besar yang harus mereka hadapi kelak. Entahlah, sebagai ibu, saya berpendapat bahwa ancaman pornografi terhadap anak-anak jauh lebih real dibandingkan “ancaman” kelompok yang memiliki keyakinan atas Tuhan yang sama namun memilih interpretasi yang berbeda atas sejarah dan penerapan beribadah kepada-Nya (wallahu'alam). Ancaman yang sebenarnya menurut saya adalah mereka yang terlibat dalam industri pornografi, baik mereka yang mendapat keuntungan ekonomi dari industri pornografi maupun para predator yang tidak hanya menjadi konsumen namun juga mendapat kenikmatan dengan cara merusak kehormatan, mental, dan harga diri orang lain akibat adiksi pornografinya. Maka, sharing is caring bagi saya adalah ketika saya berbagai peringatan kepada sesama orang tua tentang bahaya pornografi, atau cara mengatasi kecanduan games, atau cerdas menggunakan media sosial, atau tema semacam yang penting diketahui orang tua :-)