Tuesday, July 2, 2013

Belajar Menulis #5 Do Not Copy, please ...

Kemarin saya sempat membaca tulisan bagus yang diposting di blog Ibu-Ibu Doyan Nulis, salah satu forum yang saya ikuti sebagai anggota. Tulisan itu membahas masalah plagiarisme di dunia blogger. Agak tersentak juga saya membaca tulisan itu karena ternyata masalah di dunia blogging tidak jauh dari masalah yang biasa dihadapi di dunia akademik.

Sebagai pembelajar baru di belantara blogging dan penulis wannabe, saya merasa cukup khawatir dengan maraknya plagiarisme yang mewabah. Saya yakin setiap orang ingin sekali bisa berusaha dengan apa yang dimilikinya, dan besar/kecilnya penghargaan terhadap karya orang lain sebenarnya merefleksikan besar/kecilnya penghargaan terhadap karya sendiri. Kalau mau jujur, setiap orang juga pastinya ingin dihargai kan dengan karya-karyanya, jadi kemarahan sudah pasti wajar kalau bicara tentang hak cipta yang diambil alih begitu saja.

Sebenarnya ada banyak cara untuk menjadi apa pun yang lebih baik ... istri yang lebih baik, ibu yang lebih baik, penulis yang lebih baik, dst yang lebih baik. Dari banyak cara yang tersedia, saya percaya bahwa belajar dari kesalahan adalah guru yang paling baik ... jalannya mungkin lewat peluh dan aral melintang yang melelahkan dan kadang terasa pahit ditelan, tapi kalau kita ikhlas dan mampu berdamai dengan segala pengorbanan di muka, insyaAllah buahnya juga akan terasa manis di akhir, apalagi jika diresapi dengan penuh kesyukuran.


Monday, July 1, 2013

Sampah Organik dan Anorganik

Sudah satu bulan ini saya mencoba mempraktikkan pembagian kotak sampah di rumah berdasarkan jenisnya: sampah organik dan anorganik. Idenya sebenarnya berasal dari Abi. Waktu itu Abi mengeluh karena sampah yang biasa digabung di rumah menimbulkan bau tidak sedap. Karena tidak tau mau diapakan, saya cuma bisa balik bertanya apakah Abi punya saran untuk menyelesaikan masalah ini. Jujur saja, saya sendiri tidak paham bagaimana mungkin penggabungan dua jenis sampah dalam satu tong sampah yang sama bisa menimbulkan bau yang tidak sedap seperti itu. Tapi waktu Abi memberikan saya saran untuk memisahkan sampah berdasarkan jenisnya: organik dan anorganik, saya pikir tak ada salahnya untuk mengikuti saja sarannya.

Untuk mendukung keberhasilan gerakan memisahkan sampah organik dan anorganik di rumah, saya mencoba mengajak anak-anak untuk belajar membedakan mana yang termasuk sampah organik dan mana yang bukan sampah organik. Kebetulan sekali, di buku pelajaran IPA si sulung juga ada pelajaran tentang makhluk hidup yang menjelaskan tentang perbedaan benda hidup (organik) dan benda mati (anorganik). Jadi ketika saya mulai mengintroduksi gerakan ini, saya mencoba mengaitkannya dengan materi pelajaran IPA yang sedang dipelajari si sulung. Hasilnya, si sulung dengan antusias membantu saya menjelaskan pada adiknya ketika ia masih belum mengerti cara membedakan benda organik dengan anorganik. 

Alhamdulillah, sekarang ini si sulung maupun si bungsu sudah terampil membuang sampah menurut jenisnya pada tempat sampah yang tersedia. Ketika kami jalan-jalan pun, si bungsu suka bertanya jika tempat sampah yang tersedia hanya ada satu, "Ummi, kalau aku mau buang bungkus wafer ini dimana? Soalnya tempat sampahnya kan cuma satu," pikir saya dia pasti khawatir kalau dia membuang sampah di tempat sampah yang tidak sesuai jenisnya.

O ya, sejak dimulainya gerakan ini, bau sampah yang menyengat di rumah sudah tidak lagi kami rasakan. Alasannya sederhana, saya jadi teratur membuang sampah organik setiap 1-2 hari sekali, sedangkan sampah anorganik bisa dibuang lebih lama: 3 hari sekali. Memang seharusnya sampah organik bisa diolah lebih lanjut menjadi pupuk, tapi sejauh ini memang belum sempat saya pelajari cara pengolahannya bagaimana. InsyaAllah, sambil jalan, saya bisa belajar mengolah sampah organik di rumah.

Sumber foto: http://www.buletinbelantara.com/2012/05/sampah-organik-dan-anorganik.html

Wednesday, June 26, 2013

Belajar Menulis #4 Terapi Menulis

Dulu, waktu saya masih kuliah, saya pernah membaca buku tentang menulis sebagai terapi. Saya lupa siapa penulisnya, tapi yang jelas ia adalah seorang psikolog. Diterbitkan oleh Mizan, buku itu merupakan buku terjemahan dan di buku itu dijelaskan bagaimana menulis bisa menjadi terapi bagi jiwa. Saya sebenarnya tidak terlalu ngeh dengan maksud dari isi buku itu, karena saya dulu terbiasa memamah tulisan tanpa benar-benar paham apa maksudnya, lalu membiarkan diri saya menangkap maknanya lewat Aha! Moment. Sekarang, setelah punya blog dan mencoba membiasakan diri menulis saya baru pahami kebenaran isi buku itu.

Setelah kurang lebih tiga bulan ngeblog, saya merasakan sendiri bagaimana menulis menjadi terapi bagi jiwa. Dalam tulisan, saya bisa mengungkapkan kegembiraan, kesedihan, bahkan kegundahan. Dalam tulisan, saya juga bisa menyampaikan kesan yang saya miliki terhadap sesuatu, baik positif maupun negatif. Dalam tulisan, saya bisa mendapatkan kebebasan untuk mengekspresikan pendapat saya dan nilai-nilai yang saya pandang penting untuk dibagi. Karena itu, dalam tulisan, saya merasa memiliki kekuatan untuk berbagi. Bagi saya pribadi, kemampuan untuk berbagi kesan dan pelajaran dalam tulisan saya adalah salah satu sumber kekuatan dan kesehatan bagi jiwa.

Agar bisa menjadi terapi yang positif bagi jiwa, saya yakin menulis haruslah yang positif, bahkan sekalipun ingin menulis kesan pengalaman negatif, tetap saja harus diikat maknanya dalam sebuah pelajaran yang positif. Prinsipnya sederhana: seseorang tidak mungkin memiliki jiwa yang sehat ketika pada saat yang bersamaan ia sibuk mengumbar negativitas tanpa mampu menarik intisari yang terkandung di dalamnya. Karena itulah menulis menjadi sarana untuk mendisiplinkan diri menarik hikmah dari setiap kejadian. Dengan cara yang sama, seseorang akhirnya belajar untuk berdamai dengan dirinya sendiri lewat tulisan-tulisannya ... wallahu'alam.

foto: dokumentasi pribadi






Monday, June 24, 2013

Matematika Burjo

Siang ini, sepulang dari sanggar, kami mampir ke burjo langganan. Dulu, Abi yang memperkenalkan burjo ini pada kami karena bubur ayamnya yang enak. Setelah mencicipi sendiri, anak-anak dan saya setuju dengan selera Abi, bubur ayamnya memang enak. Selain bubur ayam, saya juga senang dengan molen pisang dan ubinya yang menggoda selera. Sebagai penggemar gorengan, anak-anak juga suka dengan molen pisang, seperti ibunya. Sementara Abi menikmati tidak hanya bubur ayamnya, tapi juga mie magelangan dan mie dokdok kesukannya. Di samping makanan dan minumannya, saya senang dengan warung burjo ini karena tempatnya bersih dan pelayanannya yang ramah.

Biasanya kami ke burjo berempat dengan kru lengkap setiap hari minggu. Sepulang dari agenda rutin pagi bersama, kami biasa mampir untuk sarapan. Tapi, siang ini, saya bawa anak-anak mampir ke burjo karena perut meronta diisi. Saya pikir, kasihan juga kalau anak-anak harus menahan perut kelaparan di sepanjang jalan. Kalau malah jadi masuk angin kan repot urusan. Jadi, ketika saya menawarkan anak-anak untuk mampir di burjo, anak-anak langsung mengangguk setuju dengan senyum merekah ^^

Di antara agenda makan dan minum, si sulung sibuk menghitung berapa uang yang harus dibayar untuk bubur, teh manis, mie dokdok, dan gorengan yang kami makan. Ternyata, meski si sulung tidak suka dengan pelajaran matematika, tapi saat ia berhitung dengan materi yang real, ia bisa membuat operasi penjumlahan, pengurangan, dan perkalian dengan cepat. Si sulung, misalnya, mengalikan jumlah molen yang ia makan dengan harga yang tertera di papan menu. Ia juga menambahkan setiap pesanan yang kami minta kepada pelayan dengan operasi penjumlahan. Dan ia juga mencoba melihat siapa yang membuat pengeluaran terbanyak di antara kami bertiga dengan operasi pengurangan. Semua itu dia lakukan tanpa buku coret-coret yang biasanya dia perlukan kalau belajar matematika di rumah. Belajar matematika di burjo ternyata jauh lebih mengasyikkan bagi si sulung daripada belajar matematika dengan soal cerita di buku ^^










Sunday, June 23, 2013

Catatan Kepulangan


Tuan, haluan burung yang kembali ke sarang mengantarku pulang
tapi lagu yang mereka nyanyikan entah kenapa terasa sumbang

...


Tuan, langitku meredup dalam bayangan senja
bayanganku jatuh menapak tanah yang basah oleh air mata

Harusnya aku terjaga dan tak singgah berlama-lama
Harusnya kusadar bahwa di balik setiap mantra tersimpan dahaga dunia
Harusnya kubanting keras-keras cawan anggur yang teronggok di atas meja

...

Tuan, langkahku tertahan oleh embun yang menyergap mata
dan kerikil tajam yang membuat kakiku luka

Harusnya aku bergegas pergi dan berlari menapaki mimpiku sendiri
Karena setiap mimpi punya cerita dan setiap mimpi mengandung doa

Harusnya kuhancurkan saja berhala yang menghalangi jalanku
Karena doa surgawi tak layak bersanding dengan puja puji berhala dunia

...

Tuan, rinduku menggempur menyala-nyala pada ceruk tak bernama
biarkan ia terang bagai suluh, berkobar-kobar di tengah kegelapan

Tuan, rinduku membadai menggusur timpas labirin rahasia
biarkan ia basah bagai hujan, menyiram pohon-pohon yang meranggas di taman jiwa

...

foto: persembahan si bungsu untuk blog ummi







Thursday, June 20, 2013

Pada jiwa-jiwa yang Kau titipkan ...

Setiap bayi lahir bersama pesan bahwa Tuhan belum putus asa pada manusia
(R. Tagore, Gitanjali)


Benarkah itu, Tuanku?
Entahlah
Dalam dangkal pengetahuan diri ini tentang hidup dan kehidupan,
mungkin kata-kata bijak seorang pujangga dunia memang benar adanya.

Bila kucermati, selalu saja ...
Dalam tetesan air matanya,
anak-anak menawarkan kebesaran jiwa untuk memaafkan
Dalam senyum dan tawa riangnya
anak-anak memperlihatkan kebersahajaan yang tulus memberi
Bahkan dalam kepolosannya memandang dunia
anak-anak menghamparkan kebijaksanaan yang bebas dari rupa-rupa

Sementara ..
Dalam air mata manusia dewasa
tersimpan tujuan, kehendak, dan keinginan yang tak tercandra
Dalam senyum dan tawa manusia dewasa
terekam lara dan pedih yang pekat bagai jelaga, berkerak di dasar jiwa
Dimanakah kejujuran dan ketulusan dalam jernih tutur dan bening hati kanak-kanak mereka dahulu?

...

Semalam,
saat kupandangi tidur lelap jiwa kanak-kanak di hadapanku
kuinsyafi seluruh perjalanan yang kulewati saat masih dalam buaian bundaku dulu hingga kubuai anak-anakku kini
Lalu, kusadari ada kekecewaan akibat harapan yang tak terpenuhi
ada besaran dan satuan yang mengukur tingkat kepatuhan dan cinta
ada jiwa-jiwa yang kerdil akibat dikerdilkan, lalu mengerdilkan yang lainnya

...

Pada jiwa-jiwa yang Kau titipkan, Tuanku
Berikanlah mereka ketetapan pada hati yang telah Kau singkapkan
agar agama selalu menjadi pegangan dan akhlak selalu jadi yang terdepan

Pada jiwa-jiwa yang Kau titipkan, Tuanku
Berikanlah mereka keberanian meniti jalan kebenaran yang Kau gariskan
agar selamat mereka di perjalanan dan dunia tidak menjadi tujuan

Pada jiwa-jiwa yang Kau titipkan, Tuanku
Jauhkanlah mereka dari lapar pengakuan dan haus pujian yang menghinakan
Dan peliharalah mereka dengan kekuatan untuk bersyukur dan keberanian untuk bersabar

Pada jiwa-jiwa yang Kau titipkan, Tuanku
Lindungilah mereka dari mata liar pemuja dunia yang menyesatkan
Dan genggamlah mereka dalam cahaya pengetahuan menuju keselamatan

Demi jiwa-jiwa yang Kau titipkan, Tuanku
berkatilah doa ini ...


foto: persembahan dari si bungsu untuk blog ummi




Monday, June 17, 2013

Belajar Masak #7 Kue Semprit

Hari ini si bungsu request ingin praktik masak. Awalnya si bungsu ingin bikin donat, tapi saya kasih dia usulan yang lebih menantang: belajar bikin kue untuk persiapan lebaran. Hehehe, ini sih sebenarnya boleh-bolehnya saya aja mengajak si bungsu untuk menemani saya belajar bikin kukis untuk persiapan lebaran. Si bungsu sendiri keliatan sangat antusias. Kami lalu browsing cari resep kukis sederhana yang menggunakan sedikit telur dan sedikit margarin saja supaya bisa memanfaatkan bahan yang tersedia di rumah saja. Akhirnya, ketemulah satu resep kukis klasik yang sering saya temui saat lebaran: kue semprit. Resepnya saya temukan di website sajian sedap.

Bahan-bahan:

150 gr margarin (saya pakai cuma 100 gr, karena memang sisa margarin di dapur tinggal 100 gr :p)
25 gr susu bubuk
1 kuning telur
200 gr tepung terigu (saya kurangi jadi 175 gr)
25 gr tepung maizena
100 gr gula halus (saya pakai gula biasa dengan takaran 80 gr saja)
1/2 sdt vanili bubuk

Cara membuat:

(1) margarin, gula, dan vanili dikocok hingga rata, masukkan kuning telur lalu aduk rata
(2) campurkan dengan susu, tepung terigu, dan maizena
(3) buat bentuk sesuai selera. Kalau menuruti resep asli, harusnya bentuknya dibuat dengan semprotan (apa sih istilah kulinernya yang tepat?) berbentuk bunga, tapi saya minta si bungsu untuk membentuk dengan cetakan lucu yang dia dapat sebagai kado ulang tahun dari tantenya ^^ *makasih tante ...* lagipula mungkin karena komposisi margarin yang dipakai tidak sesuai takaran jadinya tekstur adonan tidak memadai pula untuk dicetak dengan semprotan.

Hasilnya ... voila ... kayak begini ini nih hasil eksperimen saya dan si bungsu ^^


 foto: aseli buatan sendiri

Thursday, June 13, 2013

Wawancara Kerja

Beberapa hari yang lalu saya mendapatkan surat panggilan wawancara dari sebuah perusahaan. Ini adalah jawaban dari lamaran yang saya layangkan beberapa waktu sebelumnya. Meski saya yakin ini bukan tahapan seleksi final, tapi saya bersyukur karena setidaknya lamaran saya mendapatkan jawaban.

Tapi karena sudah lama tidak mengalami proses wawancara kerja, saya jadi bingung sendiri apa yang harus saya persiapkan. Akhirnya persiapan yang saya lakukan hanya satu saja: persiapan mental, apa pun hasilnya insyaAllah itu yang terbaik.

Di hari wawancara, supaya tidak terlambat saya sudah duduk manis menunggu giliran wawancara 1 jam sebelumnya. Wawancaranya sendiri tidak lama, tidak lebih dari 1 jam, tapi mungkin saya sendiri tidak siap dengan perkiraan pertanyaan yang biasanya ditanyakan saat wawancara, jawaban saya pun melebar ke kanan, ke kiri, memutar, meliuk tidak karuan. Hadeh ...

Saya sedih juga ketika wawancara berhenti di pertanyaan: apakah sudah punya pengalaman...? dan saya hanya bisa bilang, belum. Faktanya, saya memang belum punya pengalaman pada pekerjaan yang saya lamar. Saya jadi bertanya-tanya, jika setiap perusahaan hanya ingin merekruit pegawai yang sudah berpengalaman, di mana kesempatan bagi orang yang belum berpengalaman seperti saya. 

Karena saya ingin agar cerita ini bisa menjadi inspirasi bagi pembaca, saya mencoba merangkum pelajaran penting yang saya dapatkan dari sedikit pengalaman wawancara saya kemarin:
(1) kenali kekuatan dan kekurangan diri sendiri
(2) kenali profil perusahaan: sejarah, visi-misi, produk
(3) jika tidak punya pengalaman, tonjolkan aspek kekuatan diri sendiri untuk mengompensasikan ketiadaan pengalaman yang dimiliki. misal: self-motivated, fast learner, dst.
(4) jangan bicarakan masalah pribadi saat menyebutkan kekurangan diri sendiri, apalagi terkait pengalaman di tempat kerja sebelumnya
(5) beri jawaban yang singkat, lugas, dan jelas

Di luar kelima point di atas, saya percaya bahwa keyakinan bahwa Dia hanya akan memberikan keputusan terbaik juga penting agar saya bisa tetap tersenyum, apa pun hasilnya ^^


 foto: dokumentasi pribadi

Sunday, June 9, 2013

Belajar Menulis #3 Oleh-oleh dari Film Harry Potter

Weekend yang paling menyenangkan bagi saya adalah diam di rumah dan nonton film bareng Abi dan anak-anak. Kebetulan weekend kemarin kami habiskan dengan diam di rumah dan nonton bareng [film] Harry Potter.

Kebetulan lagi, setelah menonton film, Abi bertanya kepada kami semua, bagian mana dalam film yang paling berkesan. Abi juga meminta kami menyebutkan alasannya. Menurut si sulung, bagian yang paling menarik adalah ketika Albus Dumbledore meninggal. Saking berkesannya, ia ikut merasa sedih melihat Harry kembali harus kehilangan orang yang disayanginya, setelah kematian orangtuanya dan Sirius Black. Sementara itu, menurut si bungsu, bagian yang paling berkesan adalah ketika Voldemort membunuh James dan Lily Potter. Bagi saya sendiri, bagian yang paling berkesan adalah ketika Harry mengetahui bahwa Severus Snape ternyata berusaha melindungi dirinya dari Voldemort dan peristiwa terbunuhnya Dumbledore merupakan rekayasa yang dibuat oleh Dumbledore. Saya memilih bagian itu karena bagian itu benar-benar diluar dugaan saya sebagai penonton filmnya dan adanya unsur emosi yang terlibat (bahwa Severus jatuh cinta pada Lily Potter dan berusaha menunjukkan ketulusan cintanya dengan melindungi Harry) telah menambah daya tarik cerita yang barangkali juga tidak terpikirkan oleh kebanyakan penonton seperti saya.

Dari kebetulan yang kedua tadi, saya belajar tentang satu hal yang bersifat teknis untuk membuat cerita: bahwa tokoh abu-abu kadang diperlukan untuk menambah daya tarik cerita, dan peran dari tokoh ini sebaiknya dibuat 'tidak terang' (untuk membedakannya dengan gelap), hingga cerita menjelang berakhir. 

Entah apakah ini juga pelajaran penting untuk menulis cerita yang baik, tapi saya melihat adanya peningkatan suspens dari film pertama hingga film terakhir. Jika film pertama lebih bersifat perkenalan tentang siapa Harry, bagaimana ia mengawali hidupnya di Hogwarts, dan berkenalan dengan Voldemort, di film kedua mulai diperkenalkan tentang misteri dibalik You-Know-Who dan keterlibatannya dengan Hogwarts, sedangkan klimaks (menurut saya) mulai diperkenalkan di film ketiga ketika Harry ditinggal pamannya, Sirius Black, yang mati dibunuh Bellatrix dan Harry sendiri dikejar-kejar oleh Voldemort. Pembukaan klimaks ini ditambah dengan klimaks puncak ketika Harry kembali ditinggal oleh mentornya, Dumbledore, dan Harry harus mencari sisa Horcrux yang belum ditemukan agar ia bisa melemahkan Voldemort sebelum mereka bertemu.

Yang tidak kalah menarik dari film ini adalah bagaimana J.K. Rowlings menunjukkan melalui Harry tentang sikap-sikap positif tentang keberanian, keteguhan terhadap prinsip, kesetiaan dan persahabatan. Sayang, film itu juga diselingi adegan yang tidak layak ditonton anak-anak. Saya harus beberapa kali menjelaskan kepada anak-anak saya juga tentang perbedaan budaya dan inkompatibilitas budaya Barat dengan nafas Islam. 


http://harrypotter.wikia.com/wiki/File:Wizarding-world-of-harry-potter-logo.jpg




Friday, June 7, 2013

Ketika internet sakit ...

Sudah beberapa hari ini ngga bisa online pasalnya internet di rumah sering demam, koneksi internet pun jadi terganggu. Tapi, dua hari tanpa internet ternyata lumayan untuk mendetox saya dari keinginan untuk mengecek pesan di fesbuk dan di email, memelototi blog tanpa mampu menambah isinya ^^ ataupun melakukan bid untuk akun freelancer saya tanpa saya mampu mendapatkan hasil dari berbagai proyek yang ditawarkan di sana.

Ternyata, ketika internet sakit saya jadi punya waktu untuk berpikir ulang tentang seabrek kegiatan saya di dunia maya dan bagaimana semua itu berkorelasi dengan kepanikan saya menghadapi kondisi purna tugas. Abi pernah bertanya, apakah semua kegiatan itu dimaksudkan untuk menghasilkan sesuatu? Waktu itu saya bilang dengan mantap, insyaAllah iya, karena memang itu tujuan saya. Tapi mungkin cara saya untuk mendayagunakan waktu dan energi saya untuk mencapai tujuan masih belum sejalan, dibandingkan waktu yang saya pakai untuk tujuan yang benar-benar produktif mungkin saya masih banyak porsi yang saya habiskan untuk tujuan non-produktif untuk, misalnya, sekadar mengecek status teman dan akun pribadinya di fesbuk, yang terburuk adalah jika saya kemudian membandingkan diri sendiri dengan keadaan teman lainnya yang dianggap lebih lalu memberi ruang untuk bibit iri bersemayam di hati. Astaghfirullahal adziim ...

Lalu, ketika internet mulai batuk-batuk dua hari yang lalu hingga akhirnya benar-benar butuh istirahat selama satu hari kemarin, saya punya cukup waktu untuk membersihkan pikiran saya, bahkan juga merecharge motivasi dan tujuan saya untuk berkecimpung di dunia permayaan. Puasa adalah detox yang paling sehat dan saya harus berterima kasih Pada Sang Maha Kasih karena memberi saya kesempatan untuk mendetox diri saya dengan caranya yang paling indah. Sungguh.

foto: dokumentasi pribadi



Tuesday, June 4, 2013

Belajar Masak #6 Brownies

Halah ... hari ini postingannya masak lagi. Lagi semangat untuk belajar masak nih ceritanya ... Tapi, eh, ngga ding. Jujur aja, yang semangat masak sebenarnya bukan saya, tapi si bungsu. Ceritanya, kemarin setelah berhasil (di dalam kamus belajar memasak saya tidak ada istilah gagal, adanya istilah berhasil saja, hehehe ..., bahkan sekiranya hasil masakannya kurang enak pun saya berusaha membuat sugesti positif dengan mengatakan, 'variasi rasa', hihihi ... pembaca dilarang protes, ya :D) membuat banana muffin, si bungsu protes ke saya karena dia ngga bisa ikut makan karena 'beda selera' (untuk tidak mengatakan: tidak doyan, bwahahaha ....).

Sebagai kompensasinya, si bungsu minta saya untuk melibatkan dia dalam proses memasak karena dia yakin bahwa kalau dia terlibat maka masakan saya akan sesuai dengan seleranya. Jadi, dengan mempertimbangkan seleranya pula, saya mencoba pilihkan resep kue baru untuk kami praktikkan bersama: brownies. Resepnya saya dapatkan dari Majalah Ummi edisi lawas. O ya, karena cara membuatnya memang praktis, jadi persiapan membuatnya tidak lebih dari 15 menit.

Bahan-bahannya:
1,5 cup tepung terigu
1,5 cup gula pasir (saya kurangi jadi 1 cup kurang dikit)
4 butir telur, dikocok
1/2 sdt vanili
3/4 coklat bubuk (saya kurangi jadi 1/2 cup)
1 cup minyak goreng (saya kurangi juga jadi 1/2 cup saja)

Topping bebas: boleh keju parut, boleh kacang mede, boleh juga irisan kacang almond.

Cara membuatnya:
(1) gula pasir dan telur diaduk rata
(2) Tambahkan tepung terigu, vanili, coklat bubuk, dan minyak goreng
(3) Masukkan ke dalam loyang. Masak di oven.

O ya, hampir lupa, untuk topping saya pakai sisa keju yang tinggal se-emprit di kulkas. makanya ada parutan keju yang gede-gede akibat ngga bisa keparut. Karena mau masuk perut sendiri, jadi banyak kriteria makanan layak pandang dan layak icip diabaikan ... yang penting kan tidak memabukkan (elho?!).

Hasilnya ... voila! Apa adanya seperti yang tampak dalam gambar ^^

foto: aseli masih anget, belum lama diambil dari oven


Psst, resep ini kami ujicobakan persis sebelum waktunya si bungsu tidur. Rencananya malam ini kami mau tidur lebih awal, tapi si bungsu kembali protes karena kami belum juga membuat brownies yang kami rencanakan tadi siang, maka dengan satu anggukan kepala si bungsu pun sigap mengambilkan semua bahan yang diperlukan. Untuk urusan kocok-mengocok, aduk-mengaduk, rata-meratakan, hingga memarut keju, semua dikerjakan si bungsu. Saya cuma jadi tukang timbang takarannya sadjah. Dan itulah sebenarnya hal yang paling menyenangkan bagi saya: melihat si bungsu antusias dengan apa yang dilakukannya. Syukur alhamdulillah ^^









Monday, June 3, 2013

Belajar Masak #5 Muffin Pisang

Pagi tadi, sebenarnya sudah saya siapkan tulisan untuk diposting di blog. Agak luar biasa, sebenarnya, karena biasanya kalau pagi-pagi belum ada gambaran mau nulis apa, tapi karena temanya udah kepikiran sejak semalem, jadi waktu bangun tidur pagi tadi buru-buru nulis semua ide yang udah terbayang. Tapi, olala, waktu naskah siap diberi image penyerta, ternyata internetnya off dan blogspot memberi tanda: stay or leave page ... tanpa pikir panjang saya pilih yang leave page, tapi setelah itu ... oh, baru sadar apa yang saya lakukan. Teks yang ditulis panjang-panjang belum juga disimpan dalam draft, sehingga tidak ada jejak sama sekali dari tulisan saya. Alamak.

Karena kesal saya jadi malas ngetik ulang dari awal. Saya pikir betenya akhir berakhir segera, tapi ternyata sampai siang pun masih bete, wah gawat ... saya pun cari cara. Akhir-akhir ini, saya suka dengan praktik masak cup cake, jadi saya pikir mungkin cari resep cup cake bisa dicoba juga. Eh, pucuk dicinta ulam tiba, saya temukan satu resep dari majalah ummi edisi agak lawas. Cocok sekali. Di resepnya disebutkan kalau bahan utamanya adalah pisang.... Kebetulan Abi baru saja beli pisang banyak, jadi saya ngga perlu cari-cari bahan yang belum ada. Ah, senangnya.

O ya, resep yang saya praktikkan kali ini sebenarnya bukan cup cake, tapi muffin. Menurut orang yang jago masak dan bikin kue, muffin dan cup cake itu berbeda. Tapi, sebagai orang awam, saya sih melihat keduanya seperti saudara kembar, atau setidaknya sepupu ^^ 


Bahan-bahannya:

2 buah pisang ambon, diblender (saya pakai pisang apa pun yang ada di rumah)
100 gr gula pasir (saya pakai 80 gr saja)
130 gr tepung terigu
100 gr mentega, dicairkan
1 butir telur, dikocok
1/2 sdt baking powder
1/2 sdt baking soda


Cara membuatnya:

(1) Pisang yang sudah dihaluskan dicampur dengan gula pasir, ratakan
(2) Masukkan tepung terigu, telur yang sudah dikocok dan mentega yang sudah dicairkan, ratakan
(3) Terkhir, tambahkan baking powder dan baking soda, ratakan
(4) Siap untuk dipanggang. Dalam resep disebutkan supaya dipanggang di oven dengan suhu 180 derajat, tapi saya kan pakai oven B*MA, jadi saya ngga pakai perhitungan derajat, tapi lama pemanggangan kurang lebih 20 menit.


Senangnya, karena tidak perlu dimixer, jadi alat-alat yang dipakai tidak banyak, cucian kotor juga tidak banyak ^^ dan lebih praktis juga ^^ Tapi, tidak senangnya, karena warnanya agak gelap dan tidak ada toppingnya, jadi anak-anak juga terlihat kurang semangat memakannya *sigh* Wah, alamat bakal jadi cemilan saya dan Abi berdua saja ... May be if next time I try something different with chocolate inside, kids will love it ... Semangaaat!


foto: muffin aseli buatan sendiri

*) muffin yang terlihat ada lubangnya itu sebenarnya muffin yang ditusuk-tusuk (random) dengan sumpit untuk mengecek apakah sudah matang bagian dalamnya atau belum
 

Saturday, June 1, 2013

Belajar Menulis #2 Indonesian Moms' Bloggers

Baru beberapa hari yang lalu saya ikut bergabung dengan KEB (Kumpulan Emak-Emak Blogger), dan saya dibuat terkagum-kagum dengan kemampuan para emak yang ternyata doyan ngeblog. Ya ampun, ke mana aja saya selama ini, yak? Hmmm ... untuk menghindari curcol yang tidak perlu di blog ini, saya mau cerita tentang emak-emak hebat yang saya sambangi blognya.

Kalau saya perhatian, blog-blog ini dikelola secara pribadi oleh para emak. Ada yang masih pemula seperti saya, tapi lebih banyak lagi yang sudah malang melintang di dunia blogging. Ini, misalnya, keliatan dari banyaknya tulisan yang sudah mereka posting dan penggunaan template blogging yang di luar standar ... di tangan emak-emak ini, blog-blog mereka jadi terlihat indah dan profesional. Tulisan mereka juga bagus-bagus, saya kadang mikir sendiri ... kok bisa ya mereka kepikiran menuliskan tema itu di blog mereka, sementara saya masih sering jumpalitan cari ide sana-sini untuk dituliskan di blog saya. Topik yang mereka tuliskan berangkat dari hal-hal keseharian, tapi gagasan yang mereka tawarkan benar-benar fresh. Orisinil dan keren. Seru lah. Banyak dari mereka yang ibu rumah tangga, seperti saya, tapi banyak juga yang bekerja, part time maupun full time. Super!

O ya, anggota KEB sendiri tersebar di seluruh Indonesia bahkan hingga ke mancanegara. Mereka yang tinggal di mancanegara adalah emak-emak asal Indonesia, namun karena kerja ataupun keluarga jadinya tinggal di luar negeri. Di KEB para emak ini saling memotivasi dan berbagi informasi. Duh, saya jadi malu sendiri ... sering saya bicara tentang pemberdayaan perempuan tanpa tau bagaimana menerapkannya dalam tindakan. Tapi di KEB, saya melihat sendiri bagaimana perempuan berdaya dengan kesadaran dan kehendak dirinya sendiri. Jempol buat KEB dan para emak. Hidup emak-emak Indonesia!


foto: dokumentasi pribadi

Friday, May 31, 2013

Belajar Masak #4 Cup Cake Kurma, topping keju

Hari ini mendemomasakkan kembali resep cup cake kurma, tapi kali ini toppingnya pakai keju. Alhamdulillah, meski tanpa supervisi Tante Uyuy, cup cakenya jadi! terus, alhamdulillahnya lagi, anak-anak juga suka ^^


foto: aseli cup cake buatan sendiri!

Thursday, May 30, 2013

Belajar Menulis #1 Ide Datang, Ide Melayang

Sebagai blogger pemula, saya suka bingung mau menulis apa. Rasanya kegiatan yang saya jalani biasa-biasa saja, tidak ada yang istimewa. Mungkin karena masih belajar memupuk kebiasaan menulis, jadi saya masih sering kebingungan mengolah hal yang biasa menjadi istimewa.

Abi, komentator dan motivator terbaik saya, mengatakan, menulislah sesuai ide yang terlintas di pikiran. Hmmm, masalahnya ide pun sering kali tak kunjung datang. Seakan-akan bersembunyi, dicari-dicari tetap saja sulit ditemukan. 

Anehnya, saya sering sekali merasakan, justru pada waktu-waktu di mana saya sibuk mengerjakan hal lain dan bersifat urgen, ide mengalir lancar tanpa diundang. Hari senin siang, saat saya dalam perjalanan menjemput si sulung, misalnya, tanpa ada angin dan hujan, tiba-tiba saja ide sudah nangkring dengan manisnya di kepala saya. Saya merasa antusias, sampai-sampai ikut berusaha terlibat dengan mengembangkan 'kalau begini ... kalau di tambah itu ... aaah! kalau jadi seperti ini ... '. Tapi waktu saya sampai rumah, ide yang tadinya sudah kriuk tiba-tiba jadi melempem. Gara-garanya, ketika saya duduk di depan komputer saya ingat bahwa saya masih punya utang pekerjaan yang belum saya lunasi. Duh.

Sekarang, setelah saya selesaikan utang saya, entah kenapa ide yang dulu mampir itu tiba-tiba melantur, menguap dan hampir menghilang. Ingin sekali saya bisa menangkap utuh gagasan yang sama ... hup, hup.

Ketika saya mengeluhkan tentang hal ini kepada Abi, kembali ia memotivasi saya dan mencoba memberi solusi. Dia bilang, masalah saya ini klasik dan bisa diselesaikan dengan cara klasik juga: rajin mencatat. Saya memang belum punya kebiasan ini. Dulu saya punya satu buku kecil khusus untuk mencatat ide-ide yang sempat bertengger di kepala saya, tapi kemudian saya dihinggapi lupa. Lupa dimana menyimpan bukunya. Akhirnya pe-er saya malah bertambah: lupa ide dan lupa menyimpan buku ide. Shhh ...


foto: dokumentasi pribadi



Wednesday, May 22, 2013

Belajar Masak #4 Cup Cake Kurma, topping coklat meses

Hari ini mau bikin tulisan tentang muslim di India, tapi entah kenapa baru setengah jalan, trus dihadang rasa malas meneruskannya. Konon, orang harus melakukan sesuatu yang berbeda untuk memutus kejenuhan atau makan sesuatu yang bikin semangat kembali, seperti ... coklat! Waktu buka kulkas mau cari coklat, tiba-tiba mata tertumbuk pada kurma. Duh, iya ya, di kulkas masih ada sisa kurma, padahal ... psst, itu tuh sisa dari lebaran tahun lalu (jleger!!!).

Melihat kurma yang teronggok tanpa daya, Tante Uyuy yang kebetulan sedang main ke rumah tiba-tiba punya ide bikin cup cake kurma. Setelah diolah, ternyata hasilnya enyak enyak enyak ... alhamdulillah, kurmanya bisa dimanfaatkan. Meskipun sekarang kurmanya masih tersisa 300 gram lagi, tapi setelah anak-anak dan Abi ngga berhenti cemal-cemil cup cake, saya jadi bersemangat untuk mencoba-coba resep lainnya yang berbahan kurma ... *semoga semangatnya ngga anget-angetan, xixixi*. 

O ya, terima kasih buat Tante Uyuy yang sudah membagi resep cup cake kurmanya ...

Bahan-bahan:
- telur 3 butir, dipisah kuning dan putihnya
- tepung terigu 150 gram
- gula halus 100 gram (kalau isinya bukan kurma, mungkin gula halusnya bisa ditambahkan, tapi karena kurma sudah manis, jadi gula halus cukup antara 80-100 gram saja).
- soda kue, 1 sendok teh
- baking powder, 1 sendok teh
- margarin, 200 gram
- kurma, keluarkan bijinya, potong dadu kecil-kecil

Untuk topping:
bebas, boleh dengan atau tanpa topping.
Jika ingin topping, bisa gunakan coklat meses atau parutan keju

Cara membuat:
(1) margarin dan gula halus dimixer hingga berwarna agak putih
(2) campur dengan kuning telur, tepung terigu, soda kue, dan baking powder, gunakan spatula untuk meratakan campurannya.
(3) sementara itu, putih telur dikocok terpisah dengan kecepatan tinggi hingga mengembang dan berbuih
(4) campurkan adonan (2) dengan (3), gunakan spatula untuk meratakannya
(5) masukkan kurma
(6) Siapkan cetakan muffin dan kertas cupcake, masukkan adonan akhir hingga memenuhi 3/4 cetakan
(7) Untuk topping, karena di kulkas ngga ada keju, jadi kali ini kami pakai coklat meses.
(8) panggang selama kurang lebih 15-20 menit.

Hasilnya ... meskipun mesisnya masih berantakan, tapi rasanya pas, matengnya juga rata. Kalau penampilan mungkin masih jauh dari pro yaaa ... tapi yang penting anak-anak sama Abi suka. Alhamdulillah!


foto aseli, hasil bikinan kue sendiri!





Tuesday, May 21, 2013

Belajar Masak #3 Nugget

Membuat nugget ternyata mudah lho. Baru tau saya ...
Bahannya cuma daging (boleh ayam, sapi, atau ikan), roti, dan campuran tambahan (boleh sayuran atau jamur). Kali ini, karena di kulkas ada ayam cincang, roti, dan jamur, jadilah tiga bahan itu yang diramu untuk membuat nugget.

Untuk lengkapnya, bahan-bahan yang diperlukan seperti ini:
- daging cincang, kalau pakai ayam beli yang bagian dadanya saja biar dapat banyak dagingnya (o ya, tulangnya jangan dibuang, tapi disimpan, bisa dipakai buat bikin air kaldu)
- roti 6-7 lembar, disobek kecil-kecil
- jamur 250 gr, dipotong kecil-kecil (jamur bisa diganti dengan sayuran seperti wortel, brokoli, bayam, dll.)
- telur 2 butir
- bumbu yang dihaluskan: bawang putih dan merica
- margarin, untuk melumuri loyang

untuk kulit luar:
- telur 3 butir, dikocok
- tepung roti

cara membuat:
- daging cincang dan telur diblender
- campur dengan roti dan jamur, aduk rata hingga membentuk adonan
- masukkan ke dalam loyang yang sudah dilumuri margarin. kukus hingga matang
- setelah didinginkan, potong menurut bentuk dan ukuran yang diinginkan lalu lumuri dengan telur dan tepung roti. masukkan ke dalam wadah tertutup, simpan di freezer.


foto: aseli nugget bikinan sendiri!

Tuesday, May 14, 2013

Pergi ke Museum

Belum lama ini Abi mengajak saya dan anak-anak mengunjungi museum milik keluarga kraton Solo. Saat berangkat, Abi mengatakan kepada anak-anak bahwa kami akan berangkat ke kota yang pernah bersaudara dengan Jogja. Anak-anak sibuk menebak-nebak kota apakah yang hendak dituju. Ketika sampai Solo, anak-anak berpikir bahwa permainan sudah selesai, tapi ternyata Abi membawa kami ke kraton dan museumnya. Di sini, permainan justru baru dimulai.

Si sulung mengambil peran sebagai juru foto yang mendokumentasikan apa-apa yang kami lihat di kraton dan di museum. Sementara si bungsu yang baru bisa membaca, diminta untuk membacakan informasi yang tertera pada tiap barang yang dipajang di museum. Anak-anak terlihat senang dan gembira. Kebetulan memang sudah agak lama kami tidak mengunjungi museum.

Banyak hal yang bisa kami lihat dan kami jadikan catatan dari perjalanan ke kraton dan museum kemarin. Beberapa catatan justru datang dari pertanyaan anak-anak. Anak-anak misalnya bertanya tentang Pangeran Diponegoro yang patungnya dipajang di salah satu ruangan museum dan bangunan besar serupa menara di salah satu sudut kompleks keraton. Saya mencoba menjawab sebisa saya dengan mengatakan bahwa keraton Solo dan keraton Jogja memiliki silsilah sejarah yang sama dan bangunan kraton yang mirip satu sama lain, namun karena campur tangan asing mereka terpisah menjadi dua kerajaan kecil

Anak-anak juga bertanya tentang kondisi museum yang berdebu dan banyaknya sampah di sekitar kompleks kraton. Saya hanya bisa mengatakan bahwa, semakin banyak orang pandai belum tentu semakin santun sikapnya terhadap lingkungan. Diperlukan lebih dari sekadar kepandaian agar seseorang bisa bersikap peduli dan bijaksana. Allah Maha Tahu betapa sedih hati saya ketika saya menjawab pertanyaan si sulung dengan jawaban ini.

Perjalanan yang direncanakan Abi kemarin benar-benar memberi anak-anak kesempatan berekreasi sekaligus belajar. Saya ingat, waktu saya kecil dulu pun, pergi ke museum selalu menjadi tujuan favorit saya. Pengalaman pertama pergi ke museum gajah ketika kanak-kanak dulu benar-benar meninggalkan kesan yang menyenangkan buat saya. Waktu itu, buat saya, museum menyimpan kisah dan misterinya sendiri ... tapi alih-alih horor, kisah dan misteri itu justru bersifat penuh rahasia sehingga mengundang keingintahuan saya.

Konsep saya tentang museum agak bergeser ketika saya bersama teman-teman sekolah mengikuti karya wisata ke museum lubang buaya, museum nasional, dan museum mandala wangsit siliwangi. Saat itu saya mulai melihat museum sebagai sebuah tempat angker yang memiliki asosiasi dengan dorongan untuk menang, memimpin, atau berkuasa. Meski agak berbuntut panjang, konsep saya yang lama tentang museum dengan segera mengalami recovery setelah saya mengunjungi museum geologi bandung.

Di akhir masa remaja saya, dari beberapa kali kunjungan saya ke museum, saya pun mulai membanding-bandingkan bahwa museum sejarah modern seperti lubang buaya, mandala wangsit siliwangi, dan museum nasional, mengandung sisi kelam yang berkonotasi pembantaian, perang, dan kekuasaan. Sementara museum pra sejarah justru memancarkan kekayaan sejarah masa lampau yang alih-alih penuh dengan kekerasan justru kental dengan lapis budaya penuh makna. Entahlah, mungkin karena saya hidup di alam sejarah modern sehingga mempengaruhi kesan saya terhadap kedua jenis museum ini pun berbeda sekalipun keduanya sama-sama menyimpan kisah sejarah bangsa ini.

Terlepas dari alasan apa pun yang melatarbelakangi perbedaan kesan yang saya rasakan, saya selalu percaya bahwa wisata museum adalah wisata yang harusnya tidak hanya masuk dalam kurikulum di sekolah, tapi juga dalam daftar kunjungan rekreasi keluarga. Saya percaya tugas orangtua bukanlah menjadi pemberi seluruh informasi sejarah yang terkandung dalam benda-benda yang dimuseumkan, tapi memberi bekal eksposure yang cukup bagi anak agar mereka tidak melupakan sejarah bangsanya dan, yang lebih penting lagi, agar mereka mengambil kebijaksanaan dari pelajaran sejarah di masa lalu maupun masa kini.


foto: dokumentasi pribadi


Wednesday, May 8, 2013

Pergi ke Perpustakaan Kota

Di hari ketiga si sulung libur, saya meminta anak-anak untuk memutuskan apakah ingin praktik memasak lagi atau ingin pergi ke perpustakaan kota. Saya juga meminta anak-anak menyiapkan alasan untuk keputusan yang dibuatnya. Anak-anak ternyata memutuskan pergi ke perpustakaan kota. Si sulung beralasan, sudah lama ia tidak ke perpustakaan kota. Jadi ia ingin sekali pergi lagi ke sana dan meminjam buku-bukunya. Sementara si bungsu yang baru bisa membaca mengatakan, ia ingin ke perpustakaan kota agar bisa mendaftar menjadi anggota dan memiliki kartu untuk meminjam buku seperti yang dimiliki kakaknya. Baiklah, keputusan sudah dibuat.

Tepat jam 8.30 pagi tadi kami berangkat. Si sulung segera memberitahu adiknya dimana lokasi buku-buku anak-anak berada. Berdua mereka berjingkat-jingkat ke lantai atas dan mencari buku 'baru' untuk dibaca. Saya sendiri menyibukkan diri dengan membaca majalah yang akhir-akhir ini makin saya nikmati membacanya. Berbeda dengan buku-buku teks yang dulu saya baca, membaca majalah benar-benar merefresh pikiran. Saya masih suka terkagum-kagum dengan majalah: meski tanpa segudang teori, namun artikel-artikel yang ditulis dengan bahasa yang ringan dan foto-foto yang ditampilkan dengan warna-warna segar di majalah mampu mengalirkan informasi tanpa mengurangi esensi. Ingin sekali saya bisa menulis di majalah dan dibaca tulisannya oleh banyak orang, alih-alih menulis di jurnal dan dibaca oleh hanya sedikit orang yang seringkali hanya tertarik mencari perdebatan, bukannya kebenaran.

Menjelang dzuhur, saat perut mulai tanjidor-an, anak-anak meminta pulang. Sebelum pulang, si bungsu difoto dan mendapatkan kartu anggota perpustakaan yang diidamkannya. Jika saja tadi ia tidak jatuh saat belari mengejar si sulung, pastilah sepanjang jalan menuju pulang ke rumah ia tersenyum tak habis-habisnya menunjukkan rasa puas mendapatkan kartu identitas pertamanya. Belum juga saya berhenti membayangkan kegembiraan si bungsu, sesampainya di rumah, ia segera memamerkan kartu barunya kepada eyangnya sebagai 'kartu kredit'. Ah, dasar, anak-anak ^!!^


foto: dokumentasi pribadi

Monday, May 6, 2013

Belajar Masak #2 Kroketballen

Sesudah 'berhasil' bikin biji ketapang, hari ini rencananya mau bikin kroketballen. Minggu lalu sebenarnya saya dan si bungsu sudah mencoba praktik resep yang sama, tapi karena ngga punya susu segar jadi pake susu bubuk berperisa ... hasilnya, oh oh oh ngga enak ternyata. Karena masih penasaran, jadi pengin coba buat lagi ... kebetulan di kulkas masih ada sisa susu segar sama tepung roti. Jadi, mari kita berusaha buat sekali lagi.

bahan-bahan:
- wortel, potong dadu kecil2
- ayam cincang (bisa diganti kornet, daging cincang, udang cincang, sesuai selera)
- daun bawang, iris sedang
- margarin untuk menumis
- susu segar 1 gelas
- kentang, dikukus dan dihancurkan
- bawang bombay, iris halus
- merica halus
- garam secukupnya

bahan kulit luar:
- telur 3, dikocok
- tepung roti

cara memasak:
(1) panaskan margarin, masukkan bawang bombay, ayam cincang, dan wortel, masukkan merica halus dan garam secukupnya
(2) setelah matang, masukkan daun bawang, ratakan
(3) masukkan susu segar, aduk-aduk hingga adonan mengental lalu matikan api
(4) setelah adonan dingin, campurkan dengan kentang yang sudah dihancurkan, pulungi campuran adonan membentuk bulatan (bola-bola atau bulat memanjang, bisa sesuai selera)
(4) setelah dipulung menurut bentuk yang diinginkan, cemplungkan (elho, bahasanya berantakan#?!) ke dalam kocokan telur, lalu guling-gulingkan (berantakan lagi deh#?!) ke tepung roti, goreng di api panas sedang

Fotonya harusnya di sini, tapi karena laku keras, jadi ngga ada yang tersisa untuk diambil fotonya. Piss.






Sunday, May 5, 2013

Belajar Masak #1 Biji Ketapang

Sejak kemarin saya terpikir untuk mencoba resep kue yang mudah untuk mengisi waktu libur si sulung.   Setelah mencari-cari resep, saya temukan resep kue kering tradisional Betawi, kue biji ketapang di rubrik kuliner majalah femina online. Kebetulan di kulkas masih ada sisa parutan kelapa dan susu segar,  jadinya bisa dimanfaatkan sekalian.

Meskipun awalnya ogah-ogahan, tapi karena mencium wangi kelapa sangrai, si sulung akhirnya ingin tau dan ikut membantu saya dan si bungsu yang sudah terlebih dulu sibuk membuat persiapan di awal. Si bungsu yang selalu antusias dengan acara masak-memasak sibuk menyiapkan semua bahan: 100 gr gula pasir, 300 gr tepung terigu (diayak), 75 gr kelapa parut (sangrai), 50 ml susu cair, 50 ml margarin (lelehkan), 1 butir telur, dan garam secukupnya. Sementara saya menyiapkan bahan-bahan mentah untuk diayak, disangrai, dan dilelehkan, saya membiarkan si bungsu untuk mengocok gula, telur, dan margarin. Setelah tercampur rata saya lalu campurkan dengan tepung terigu, susu, kelapa parut, dan garam. Hasilnyanya adalah adonan yang siap untuk dipulung panjang, dipotong miring, dan digoreng.

foto: aseli bikinan sendiri






Friday, May 3, 2013

Majalah dan buku bekas (Bagian 1 dari 2 Tulisan)

Sekitar tiga minggu yang lalu saya membeli majalah bekas dalam jumlah yang cukup banyak. Saya senang membeli majalah bekas karena, selain harganya yang murah, saya bisa membeli majalah sesuai dengan topik yang menjadi perhatian saya. Di samping itu, majalah bekas juga banyak yang dijual dalam keadaan terbungkus plastik, alias masih baru. Lagipula, karena bukan koran, isi majalah juga tidak pernah basi. Pendeknya, membeli majalah bekas itu klop dengan selera dan kebutuhan saya.

Kalau buku bekas, saya sudah lama sekali tidak membelinya. Entahlah, mungkin karena kehadiran internet sebagai sumber informasi yang, meski tidak bisa selalu dipercaya, namun relatif murah dan aksesibel sehingga saya dibuat nyaman dengan kebiasaan memamah informasi yang membanjir namun seringkali tak-utuh itu. Dulu, karena belum ada internet dan untuk menghemat kiriman orangtua, berburu buku bekas--baik untuk referensi mengerjakan tugas atau untuk asupan bacaan--mutlak dilakukan agar tidak mengalami kebangkrutan di tengah bulan.

Di Jakarta, lapak buku bekas di emperan jalan yang saya tau masih bisa ditemui di sekitar Senen dan Kwitang meski jumlahnya sudah banyak berkurang dari jaman saya kecil dulu. Kalau toko buku bekas, saya hanya tau dua saja, di daerah TIM dan di lantai bawah Pasar Festival. Terakhir saya sambangi yang di TIM empat tahun lalu, sewaktu menunggu jam buka loket penjualan tiket untuk pertunjukan drama musikal anak-anak. Tapi, yang di Pasar Festival tampaknya malah sekarang sudah tutup atau mungkin pindah lokasi saja.

Meski berbeda dengan emperan yang biasa saya sambangi di jaman sekolah dulu, tapi sensasi yang muncul dari lapak buku bekas selalu sama. Mengubek-ubek tumpukan atau deretan buku dan majalah bekas untuk mencari satu tema yang dicari ataupun dinanti itu benar-benar ... sesuatu. Bagaimana tidak, jika toko buku modern menawarkan efisiensi untuk pencarian di rak mana lokasi buku berada melalui bantuan mesin pencari, lapak buku bekas biasanya menawarkan kebalikannya ... dan, bagi saya, itulah keunggulannya. Di zaman ketika orang ingin segalanya serba mudah dicapai, serba cepat diraih, orang yang menyambangi lapak buku bekas harus menyiapkan tidak hanya tenaga tapi juga waktu dan kesabaran untuk menemukan apa yang dicari.

Entah dengan orang lain, tapi bagi saya, kesenangan saat berhasil menemukan buku yang saya cari di lapak buku bekas tidak bisa disamakan dengan kesenangan menemukan buku yang saya cari di toko buku. Pernah sekali waktu, saya berhenti di Cikapundung untuk melihat-lihat buku bekas yang terlindung plastik dari debu-debu di emperan jalan. Tidak ada niatan untuk membeli buku karena uang di saku hanya 23 ribu. Kalau dipaksakan membeli buku pastinya tidak akan ada sisa ongkos pulang. Namun ada 2 judul buku yang masih baru, rapi tersampul plastik, tanpa coretan di dalamnya, dan temanya sungguh menarik hati.

Setelah lama membolak-balik dan membaca beberapa lembar isinya, bapak itu menyebutkan harganya.
"satu bukunya 15.000 aja, Neng."
Sambil permisi saya katakan, "wah, uang saya tidak cukup, Pak. Maaf. Lain kali saya akan kembali."

Namun bapak itu malah ingin melepaskan buku itu dengan harga seberapa pun yang saya mampu. Menurutnya, "baru 10 menit yang lalu buku ini didrop pemilik lamanya, Neng. Bukunya pasti bagus ya, Neng, soalnya jarang-jarang ada buku yang baru hitungan menit sudah ada yang mau begini."

Saya katakan, bukunya memang bagus. Tapi saya juga bilang, uang saya pasti tidak akan cukup untuk menutup modalnya membeli buku ini dari tangan sebelumnya.
Namun bapak itu bersikeras, "biar ngga apa-apa, Neng. Rejeki sudah ada yang atur. Selama masih ada usaha, insyaAllah ngga akan rugi. Lagian, buku bagus banyak yang cari. Kalau lain kali Neng main ke sini lagi, belum tentu bukunya masih ada sama bapak."

Betul juga, pikir saya. Lalu sambil mengambil selembar 20-ribuan, saya katakan bahwa saya hanya akan ambil 1 buku saja.
Bapak itu kembali bersikeras. "Ambil 2, saya kasih 20.000 ya?" tanyanya retoris. Lalu ia buru-buru menyimpan 2 buku itu ke dalam plastik.
"Tapi uang itu kan masih kurang, Pak. Nanti saya hutang," kata saya.
"Uang 20.000 itu sudah lunas kok. Yang penting bukunya dibaca," tandasnya.

Di sepanjang jalan pulang, di angkot, saya tidak habis mensyukuri apa yang baru saja saya peroleh. Bukan karena mendapatkan harga semurah-murahnya, tapi karena pelajaran penting tentang makna menjadi kaya. Ternyata, orang yang kaya bukanlah orang yang banyak uangnya, tapi orang yang dalam keterbatasannya masih mampu memberi kepada yang lainnya. Saya mungkin tidak akan mendapatkan pelajaran sepenting ini jika saya hanya tau menyambangi toko buku modern yang justru meraup keuntungan dengan menarik biaya display setinggi-tingginya dan menimpakan beban biaya ini kepada para pembeli setianya.

Meski tidak semua pemilik lapak buku bekas memikili kekayaan seperti bapak yang saya temui dulu, tapi setidaknya di lapak buku bekas orang masih bisa menemukan ekspresi kemanusiaan yang spontan, yang--di zaman kemasan seperti sekarang--semakin jarang dijumpai. Dan, meski tidak semua lapak buku bekas menawarkan harga buku yang murah, terutama jika buku yang dijual bersifat collectible, namun saya yakin masih banyak buku-buku bekas yang dijual dalam harga miring dibandingkan harga di toko buku umumnya. Namun, saat ini, ketika interaksi orang diminimalkan oleh komputer, barcode, dan papan informasi, lapak buku bertahan pada mode komunikasi yang dinamis di antara penjual dan pembeli. Dan ketika segala hal direduksi menjadi sekadar transaksi jual beli, di lapak buku bekas seseorang bahkan bisa mendapatkan tidak hanya buku yang dicari tapi juga keakraban bahkan, tak jarang, pertemanan yang karib di antara pemilik lapak dan pelanggan-pelanggannya.


foto: dokumentasi pribadi


Tuesday, April 30, 2013

Sekolah di rumah

Setelah lama si bungsu mogok sekolah, akhirnya saya memutuskan untuk menyekolahkan si bungsu di rumah saja. Semacam homeschooling, tapi untuk anak TK. Bedanya, kalau homeschooling SD masih bisa dicari modul dan panduan kurikulumnya, kalau TK agak susah buat saya mencari bocoran kurikulum dan modulnya. Tapi karena sifatnya hanya persiapan untuk masuk SD, jadi saya tidak terlalu risau untuk urusan kurikulum, mungkin lain urusannya kalau yang dihadapi bukan TK ya, karena pastinya kan sudah harus memiliki standar tertentu.

Jujur, saya tidak pakai standar untuk persiapan menyekolahkan si bungsu di rumah. Saya berharap sekolah ini, seperti homeschooling pada umumnya, menjadi sarana pembelajaran bagi si bungsu bahwa belajar itu harus dilakukan setiap hari, tapi dengan cara yang membuatnya nyaman ... karena tak ada bedanya dengan aktivitas yang biasa ia lakukan sehari-hari di rumah, bersama siapa pun ... tidak harus dengan guru, dan di mana pun ... tidak harus di dalam kelas. Agar membuatnya menjadi menjadi lebih bertanggung jawab, saya memberikan jam khusus untuk memulai dan mengakhiri pelajaran. Saya juga meminta ia menyiapkan alat-alat tulis dan meja kecilnya sebelum pelajaran dimulai. Dan, untuk membedakan kegiatan di rumah dengan kegiatan di sekolah, saya memberikan ritual di antara waktu-waktu belajarnya serta tugas ringan, seperti hafalan ayat  atau do'a pendek.

Karena tidak punya pengalaman formal untuk mendesain materi maupun metode pembelajaran untuk anak usia dini, saya bersandar pada insting saya saja untuk mengajar. Yang jelas, saya pribadi meyakini ada 3 hal pokok yang penting dalam setiap proses pembelajaran:
(1) belajar dari materi yang tersedia
(2) belajar haruslah menyenangkan
(3) fokus pada tujuan

Belajar dari materi yang tersedia
Karena saya tidak memiliki akses untuk kurikulum TK yang disarankan, saya mencoba mendesain sendiri materi yang dibutukan si bungsu, bukan berdasarkan kurikulum tapi berdasarkan tujuan akhir yang ingin dicapai, yakni untuk persiapan si bungsu masuk SD.

Belajar haruslah menyenangkan
Saya pikir, tidak hanya anak-anak, siapa pun ingin supaya belajar berlangsung dalam suasana yang menyenangkan. Agar anak tidak merasa bosan, saya memulai pelajaran dengan pengkondisian, seperti membaca cerita dan game. Selain itu, saya juga mencoba mengombinasikan muatan teori dan praktik melalui metode ceramah dan eksperimen.

Fokus pada tujuan 
Ada 2 tujuan yang hendak diraih dalam penyelenggaraan sekolah si bungsu di rumah, yakni persiapan masuk SD dan diniyah. Sebagaimana si sulung, saya memandang materi diniyah sangatlah urgen untuk diperkenalkan sejak dini. Untuk persiapan masuk SD, alih-alih fokus pada calistung, saya fokus justru pada keterampilan bahasa dan sains. Sementara untuk diniyah, saya mencoba dengan hafalan do'a dan surat-surat pendek, serta hafalan asmaul husna.

Sekolahnya sendiri sudah saya mulai bersamaan dengan berlakunya diet, yakni sejak hari senin kemarin. Setiap hari, sekolah berlangsung mulai pukul 9.00 s.d. pukul 10.30 dengan pembabakan sebagai berikut:  
(1) pengkondisian 1: membaca buku cerita (10 menit), untuk keterampilan bahasa 
(2) agama: asmaul hunsa (10 menit) dan hafalan do'a atau surat pendek (15 menit), 
(3) pengkondisian 2: variasi permainan (15 menit) dan pemberian buah potong
(4) membaca ensiklopedia (15 menit), untuk sains
(5) memasak/berkebun/menonton film (25 menit), untuk pembelajaran lewat eksperimen.




Wednesday, April 24, 2013

Memilih Sekolah

Siang tadi saya menjemput putri sulung saya di sekolah barunya. Dia terlihat cantik dengan kerudung dan baju panjangnya yang terlihat agak kebesaran. Seperti biasa, dia menunggu saya menjemputnya sambil main ayunan. Melihat kehadiran saya, ia segera mengambil tasnya lalu berlari kecil menghampiri. Saya tanyakan bagaimana kabarnya di sekolah hari ini, berharap ia bisa bercerita bahwa ia sudah mendapatkan 1-2 orang teman baru untuknya. Lalu dari mulut mungilnya keluarlah cerita tentang Sekar dan Nanda. Syukurlah.

Tak pernah saya mengira bahwa saya akan memasukkan anak saya ke sekolah agama. Dulu, saya ingat saya bahkan sempat bersitegang dengan suami tatkala saya bersikeras meminta si sulung bersekolah di sekolah RSBI di kota kami. Suami saya yang memiliki latar belakang pendidikan agama menganggap bahwa sekolah agama menjadi kian diperlukan untuk memberi bekal yang cukup bagi pembentukan akhlak, apalagi melihat kondisi lingkungan yang semakin tidak kondusif untuk tumbuh kembang anak. Tapi saya menolaknya, saya katakan bahwa pendidikan agama seharusnya dimulai dari rumah, dari keluarga, bukan dari sekolah. Selain itu, saya berdalih bahwa sekolah agama memberikan muatan materi yang terlalu banyak untuk dikonsumsi anak seusianya. Selain belajar muatan nasional, muatan lokal, masih pula belajar muatan agama dan keorganisasian. 

Perubahan itu muncul ketika saya akhirnya menyadari bahwa saya tidak mampu memberi bekal yang cukup untuk anak-anak saya. Bahkan untuk hal-hal sederhana namun bersifat elementer seperti sholat pun saya merasa kesulitan untuk membuat mereka bangkit mengambil wudhu dan menunaikan rakaat demi rakaat. Terlepas dari faktor lingkungan, saya mengakui bahwa itu sepenuhnya kesalahan saya.  Saya sering tidak hadir untuk memantau mereka dan saya merasa cukup ketika mengetahui mereka telah mengerjakan pe-er sekolahnya. Bagaimana mungkin saya berharap mereka mampu melakukan apa yang saya harapkan tanpa saya pernah turun tangan membiasakan mereka melakukannya?

Butuh waktu bagi saya untuk bisa mengakui letak kesalahan saya dan butuh waktu bagi saya untuk akhirnya mengakui bahwa pada suatu titik, saya salah mengarahkan anak-anak saya. Bagaimana pun, sayalah ibunya dan sayalah yang seharusnya bertanggung jawab pada proses pendidikan mereka. Jika saya punya pengetahuan agama cukup tentu saya akan turun tangan langsung menangani pendidikan agama anak-anak saya, namun pengetahuan saya teramat dangkal, saya masih harus banyak belajar. Memasukkan anak ke sekolah agama adalah salah satu ikhtiar untuk melengkapi kekurangan saya.

Usia anak-anak adalah usia emas, saya sepenuhnya meyakini hal itu. Saya ingin di usia emas ini anak-anak mendapat stimulasi untuk kecerdasan spiritualnya kelak. Bukan kecerdasan spiritual yang dibangun di atas teori-teori buatan manusia seperti ibunya, tapi kecerdasan spiritual yang dibangun di atas harapan kepada Allah Ta'ala dan kecintaan kepada baginda Rasulullah (saw). Saya ingin memanfaatkan usia emas anak-anak saya dengan memberi mereka bekal agama. Tapi karena modal saya terbatas, saya titipkan anak-anak saya di sekolahnya sekarang untuk melengkapi apa yang bisa saya berikan di rumah. Tentu saya akan bangga jika anak-anak mampu meraih kesuksesan di masa depan, tapi saya lebih berharap agar anak-anak bisa selamat dunia akhirat. Bagi saya, inilah visi saya untuk masa depan anak-anak. Semoga DIA Yang Maha Mendengar menjawab do'a saya ...



foto: dokumentasi pribadi

Tuesday, April 23, 2013

Everybody needs a little sense of pride ...

Setiap orang membutuhkan sedikit saja penghargaan dari lingkungannya. Penghargaan adalah kebutuhan esensial manusia. Suami membutuhkan penghargaan istri, istri membutuhkan penghargaan suami. Orangtua membutuhkan penghargaan anak, anak juga membutuhkan penghargaan orangtua. Atasan membutuhkan penghargaan bawahan, bawahan juga membutuhkan penghargaan atasan. Bahkan seorang pendosa pun membutuhkan penghargaan, sehingga ia menutup-nutupi dosanya di hadapan orang banyak, takut kalau-kalau ia akan kehilangan penghargaan dari orang-orang di sekitarnya.

Penghargaan terukur dari tidak hanya kepedulian dan perhatian, tapi juga dari simpati dan empati yang diberikan. Tidak cukup dengan hanya tau seseorang sakit, tapi juga kehadiran untuk menjenguk si sakit. Tidak cukup hanya dengan mengucapkan terima kasih pada hadiah yang diterima, tapi juga memakainya dengan suka cita. Tidak cukup hanya dengan mengatakan maaf untuk kealpaan yang tak disengaja, tapi juga berusaha tidak mengulanginya kembali. Tidak cukup hanya dengan memberikan apa yang menjadi kewajiban, tapi juga upaya memberi lebih dari yang bisa diberikan. Pada akhirnya, pemilik seluruh tindakan itu berharap ia akan menerima hal yang sama dari rekannya. Penghargaan selalu diiringi harapan akan resiprositas. Do what you want others do to you, kurang lebihnya begitu.

Saat ini, ketika hubungan manusia tidak lagi terikat pada pola tatap muka, penghargaan tetap tidak tergantikan. Di fesbuk, misalnya, saya sering perhatikan bagaimana orang senang berkomentar dan berharap dikomentari balik, dengan positif tentunya. Sementara di twitter, saya juga sering lihat bagaimana orang memfollow dan berharap difollow balik. Lebih jauh dari itu, saya suka perhatikan bagaimana sharing foto, quotes, words of wisdom, dan notes of opinion menjadi salah satu sarana untuk mendapatkan tidak hanya perhatian tapi juga penghargaan, di samping tujuan untuk berbagi tentunya.

Penghargaan melahirkan kebanggaan. Bangga bahwa dirinya diakui oleh lingkungannya. Kebanggaan melahirkan kepercayaan diri. Dan dari semua sumber rasa percaya diri, rasa bangga yang dibangun oleh keluarga adalah yang utama. Seseorang boleh saja mendapatkan cacian dari lingkungannya, tapi selama ia masih mendapatkan pengakuan dari keluarganya, selama ia masih menerima penghargaan dari pasangannya dan anak-anaknya, ia masih bisa mempertahankan kebanggaan dirinya. Namun ketika tak seorangpun, bahkan keluarganya sekalipun, mampu menghargainya, di titik itulah manusia akan tersadar bahwa kebanggaan bukanlah sesuatu yang ia ciptakan sendiri, melainkan pemberian diam-diam dari Sang Pemilik Kehormatan. Atas kehendak NYA sajalah ia mendapatkan penghargaan dari lingkungannya dan mendulang pengakuan dari kerja yang dilakukan di bawah izin NYA, lain bukan.



foto: dokumentasi pribadi

Friday, April 19, 2013

Impian, Cita, dan Angan

Di salah satu novel terlaris pernah disebutkan: bermimpilah, maka Tuhan akan memeluk mimpi-mimpimu. Di tempat lain disebutkan, gapailah cita-citamu setinggi bintang di langit. Jika kau tak mampu meraihnya, setidaknya kau telah sematkan citamu di antara ketinggian bintang. Sementara petuah bijak menyampaikan agar kita tidak panjang angan. Apa beda impian, cita, dan angan?

Kata impian sebenarnya berbagi persamaan dengan kata cita. Keduanya mengandung makna harapan akan sesuatu. Namun, kata impian berbeda dengan kata cita dalam tiga hal. Pertama, sementara cita mengandung target yang ingin dicapai melalui langkah terencana, impian memiliki orientasi yang lebih sulit untuk dicapai meski tidak mustahil. Kedua, sementara cita bergerak di level kesadaran, impian bergerak di level bawah sadar. Ketiga, sementara cita menuntut upaya diri lebih dalam usaha mencapai target yang diharapkan, impian percaya bahwa ada faktor lain di luar diri pribadi yang berkontribusi dalam terealisasinya harapan itu kelak. Bagi sebagian orang, faktor lain itu adalah Yang Maha Berkehendak, sementara bagi sebagian orang lainnya, faktor lain itu adalah alam. Semua kembali ke keyakinan masing-masing.

Nah, berbeda dari arti kata impian maupun cita, kata angan mengandung makna yang sebenarnya cenderung negatif karena angan bersifat semu, tidak realistis. Angan juga sering disebut sebagai mimpi di siang bolong. Itu artinya, impian yang tidak disandarkan pada kenyataaan pun sedianya jatuh menjadi sekadar angan. Impian yang sejati diawali kesadaran sebagai makhluk dan kebutuhan akan kekuatan yang bersifat beyond human, namun impian di siang bolong justru diawali kesombongan (jika bukan kebodohan) memandang diri superhuman kemudian diikuti dengan ketidakmampuan mengukur diri dan melihat batasan yang dimiliki. Astaghfirullahal adziim ...

Meskipun terkesan sederhana, tanpa adanya mawas diri pengetahuan yang sudah given ini bisa dengan mudahnya terlupakan ... Naudzubillahi min dzalik.


foto: dokumentasi pribadi

Tentang blog ini ...

Tentang blog ini ...

Seperti terlahir kembali. Itulah kata-kata yang paling tepat untuk menggambarkan kondisi ketika seseorang mendapatkan kembali hidupnya melalui kesempatan kedua.

Taukah kau makna kesempatan kedua?
Jangan katakan kau tau maknanya jika kau tak pernah tau rasanya kehilangan kesempatan pertama.

Faktanya, mungkin tidak banyak orang yang dalam hidupnya pernah mengalami kejatuhan, lalu dengan susah payah bangkit dan berusaha berjalan lagi dengan mengenggam kesempatan kedua.

Beruntunglah orang yang hidup cukup dengan satu kesempatan saja, tanpa perlu mengalami kejatuhan dalam hidupnya. Tapi, sekalipun kurang beruntung, orang yang pernah jatuh namun berusaha bangkit lagi adalah orang yang patut mensyukuri kesempatan baru yang didapatkannya.

Kesempatan kedua adalah harta. Tentang masa yang lebih berharga, tentang langkah yang lebih hati-hati, dan senandung cinta di pagi hari.

Kesempatan kedua adalah harapan. Harapan yang lebih baik tentunya, tentang diri dan keluarga, tentang karir dan cinta, tentang martabat dan manfaat.

Kesempatan kedua adalah kebaruan. Kebaruan dalam tekad, kebaruan dalam semangat, kebaruan yang lebih khidmat.

Kesempatan kedua adalah doa ... dalam langkah, dalam senyap, dalam harap.