Tuesday, June 26, 2018

Pilkada 2018

Hari ini berkah untuk semua pegawai karena pilkada serentak dilakukan di seluruh kota di Indonesia. Meskipun di Jogja tidak ada pilkada, tapi Jogja juga kecipratan liburnya. Di Jogja, pemimpin daerah tidak dipilih, melainkan ditetapkan sebagai Gubernur sekaligus Sultan dengan Undang-Undang Keistimewaan. Apa iya Jogja Istimewa? Biasanya orang Jogja mesam-mesem kalo dibilang Jogja Istimewa, tapi rasanya kok biasa saja, ya.

Dulu memang saya pikir Jogja istimewa. Bagaimana tidak. Cuma di Jogja saya masih bisa dapati iring-iringan pesepeda di jalan-jalan utama kota. Itu masa ketika saya masih kecil dan beberapa kali Jogja menjadi tujuan utama keluarga kami di saat musim liburan sekolah. Perasaan yang sama masih saya rasakan ketika saya kuliah di Bandung dan sesekali berkunjung ke Jogja untuk melepas kangen dengan kakak. Jogja di masa itu juga menjadi kiblat kerja intelektual untuk penerbitan buku-buku terjemahan dengan tema-tema progresif.

Sekarang, apa kabar Jogja? Banyak yang berubah dari Jogja. Lebih banyak hotel, lebih banyak mal, lebih banyak apartemen, lebih banyak hiburan malam, dan lebih banyak kemacetan juga. Sementara waterboom bermunculan di mana-mana, di berita disebutkan banyak kecamatan di Jogja yang mulai mengalami kekeringan. Sementara amusement park dibangun di hampir semua kabupaten kota sebagai wahana rekreatif berbayar, belum ada inisiatif untuk membuat community park yang bisa diakses dengan mudah, tanpa harus membayar, di Jogja.

Kecuali di Malioboro, ruang publik di Jogja terbilang minim bila dibandingkan dengan kota besar seperti di Bandung, dimana ruang-ruang publik tersebar di banyak titik di penjuru kota. Terlepas dari banyaknya kritik yang dialamatkan kepada walikota Bandung untuk pendekatan pembangunan kotanya yang dianggap middle-class-oriented, kok saya malah melihat orientasi pembangunannya lebih inklusif, ya, karena mengakomodasi kebutuhan dan partisipasi komunitas lokal yang bersifat lintas-kelas. Lihat saja taman-taman di Bandung yang ketika lebaran tahun ini menjadi salah satu destinasi rekreatif yang murah. Lihat juga fasilitas edukasi publik yang disediakan di taman-taman tersebut yang mengajarkan pengunjung tentang kesehatan, hidroponik, urban gardening, sejarah kota Bandung di masa lalu, visi pembangunan kota Bandung di masa depan, dan masih banyak lagi. Pembangunan taman yang bersifat tematik juga bisa dilihat sebagai bentuk edukasi publik yang efektif untuk menajamkan masyarakat dengan isu-isu sosial kontemporer di sekitar mereka, bahkan cara-cara yang mungkin didesain untuk mebangun resiliensi kota dalam menghadapi isu-isu tersebut.

Entahlah, agak jomplang rasanya ketika saya membandingkan arah pertumbuhan kedua kota ini. Padahal kalau dipikir-pikir dua-duanya sama-sama gudang pemikir di Indonesia, masyarakatnya juga sama-sama kreatif, tapi keluarannya kok bisa beda, ya. Mungkin memang perlu visi yang lebih terarah dari pemimpinnya. Tapi, aduh, siapa saya yang bisa ngomong begini? Mending beberes, ah.


No comments:

Post a Comment