Kemarin sore ada yang salah dengan nasi di rumah. Mungkin karena kurang air, jadi nasi hanya matang di bawah sedangkan di bagian atasnya masih aron. Malamnya, jadilah kami makan mie instan semua.
Pagi ini saya memutuskan untuk membuat nasi goreng, tapi... olala, ternyata tetap saja bagian nasi yang belum matang tidak bisa diupgrade menjadi lebih matang, sementara nasi yang matang malah menjadi lembek.
Melihat keadaan ini, si tengah yang kami daulat sebagai chef sibuk mencari ide untuk mengolah nasi tadi. Setelah beberapa waktu mendiskusikan kemungkinan ini dan itu, akhirnya ia memutuskan mengolahnya menjadi bola-bola nasi.
Dengan bantuan kakaknya, sang chef sibuk di dapur mengoordinir persiapan pembuatan bola-bola nasi. Sementara ia menyiapkan bumbu-bumbunya, kakaknya membantu menyiapkan bahannya. Sederhana lho, ternyata. Bahannya hanya bawang bombay yang ditumis bersama potongan wortel yang dipotong dadu kecil-kecil, dicampur parutan keju, merica, dan garam.
Setelah semua bahan dan bumbu matang, lalu dicampurkan ke nasi goreng yang gagal dimasak hingga rata. Setelah itu, mereka buat bulatan bola-bola yang diisi dengan potongan keju. Membayangkan kejunya, langsung menetes air liur saya. Hahaha.
Bola-bola yang sudah terbentuk lalu dicelupkan ke dalam kocokan telur dan digulingkan di atas gundukan tepung roti. Sayang, kami harus menunggu sedikit lebih lama karena bola-bola nasi yang sudah diselimuti tepung roti ini baru bisa digoreng setelah disimpan di freezer selama setidaknya 1 jam.
Tapi, ah, ternyata penantian 1 jam itu terbayarkan sudah. Sore ini kami bisa menikmati nasi yang hampir saja mubadzir terbuang menjadi bola-bola nasi berisi keju yang lezat. Nyammm. Alhamdulillah ^_^
cittakedua
Saturday, June 30, 2018
Tuesday, June 26, 2018
Pilkada 2018
Hari ini berkah untuk semua pegawai karena pilkada serentak dilakukan di seluruh kota di Indonesia. Meskipun di Jogja tidak ada pilkada, tapi Jogja juga kecipratan liburnya. Di Jogja, pemimpin daerah tidak dipilih, melainkan ditetapkan sebagai Gubernur sekaligus Sultan dengan Undang-Undang Keistimewaan. Apa iya Jogja Istimewa? Biasanya orang Jogja mesam-mesem kalo dibilang Jogja Istimewa, tapi rasanya kok biasa saja, ya.
Dulu memang saya pikir Jogja istimewa. Bagaimana tidak. Cuma di Jogja saya masih bisa dapati iring-iringan pesepeda di jalan-jalan utama kota. Itu masa ketika saya masih kecil dan beberapa kali Jogja menjadi tujuan utama keluarga kami di saat musim liburan sekolah. Perasaan yang sama masih saya rasakan ketika saya kuliah di Bandung dan sesekali berkunjung ke Jogja untuk melepas kangen dengan kakak. Jogja di masa itu juga menjadi kiblat kerja intelektual untuk penerbitan buku-buku terjemahan dengan tema-tema progresif.
Sekarang, apa kabar Jogja? Banyak yang berubah dari Jogja. Lebih banyak hotel, lebih banyak mal, lebih banyak apartemen, lebih banyak hiburan malam, dan lebih banyak kemacetan juga. Sementara waterboom bermunculan di mana-mana, di berita disebutkan banyak kecamatan di Jogja yang mulai mengalami kekeringan. Sementara amusement park dibangun di hampir semua kabupaten kota sebagai wahana rekreatif berbayar, belum ada inisiatif untuk membuat community park yang bisa diakses dengan mudah, tanpa harus membayar, di Jogja.
Kecuali di Malioboro, ruang publik di Jogja terbilang minim bila dibandingkan dengan kota besar seperti di Bandung, dimana ruang-ruang publik tersebar di banyak titik di penjuru kota. Terlepas dari banyaknya kritik yang dialamatkan kepada walikota Bandung untuk pendekatan pembangunan kotanya yang dianggap middle-class-oriented, kok saya malah melihat orientasi pembangunannya lebih inklusif, ya, karena mengakomodasi kebutuhan dan partisipasi komunitas lokal yang bersifat lintas-kelas. Lihat saja taman-taman di Bandung yang ketika lebaran tahun ini menjadi salah satu destinasi rekreatif yang murah. Lihat juga fasilitas edukasi publik yang disediakan di taman-taman tersebut yang mengajarkan pengunjung tentang kesehatan, hidroponik, urban gardening, sejarah kota Bandung di masa lalu, visi pembangunan kota Bandung di masa depan, dan masih banyak lagi. Pembangunan taman yang bersifat tematik juga bisa dilihat sebagai bentuk edukasi publik yang efektif untuk menajamkan masyarakat dengan isu-isu sosial kontemporer di sekitar mereka, bahkan cara-cara yang mungkin didesain untuk mebangun resiliensi kota dalam menghadapi isu-isu tersebut.
Entahlah, agak jomplang rasanya ketika saya membandingkan arah pertumbuhan kedua kota ini. Padahal kalau dipikir-pikir dua-duanya sama-sama gudang pemikir di Indonesia, masyarakatnya juga sama-sama kreatif, tapi keluarannya kok bisa beda, ya. Mungkin memang perlu visi yang lebih terarah dari pemimpinnya. Tapi, aduh, siapa saya yang bisa ngomong begini? Mending beberes, ah.
Dulu memang saya pikir Jogja istimewa. Bagaimana tidak. Cuma di Jogja saya masih bisa dapati iring-iringan pesepeda di jalan-jalan utama kota. Itu masa ketika saya masih kecil dan beberapa kali Jogja menjadi tujuan utama keluarga kami di saat musim liburan sekolah. Perasaan yang sama masih saya rasakan ketika saya kuliah di Bandung dan sesekali berkunjung ke Jogja untuk melepas kangen dengan kakak. Jogja di masa itu juga menjadi kiblat kerja intelektual untuk penerbitan buku-buku terjemahan dengan tema-tema progresif.
Sekarang, apa kabar Jogja? Banyak yang berubah dari Jogja. Lebih banyak hotel, lebih banyak mal, lebih banyak apartemen, lebih banyak hiburan malam, dan lebih banyak kemacetan juga. Sementara waterboom bermunculan di mana-mana, di berita disebutkan banyak kecamatan di Jogja yang mulai mengalami kekeringan. Sementara amusement park dibangun di hampir semua kabupaten kota sebagai wahana rekreatif berbayar, belum ada inisiatif untuk membuat community park yang bisa diakses dengan mudah, tanpa harus membayar, di Jogja.
Kecuali di Malioboro, ruang publik di Jogja terbilang minim bila dibandingkan dengan kota besar seperti di Bandung, dimana ruang-ruang publik tersebar di banyak titik di penjuru kota. Terlepas dari banyaknya kritik yang dialamatkan kepada walikota Bandung untuk pendekatan pembangunan kotanya yang dianggap middle-class-oriented, kok saya malah melihat orientasi pembangunannya lebih inklusif, ya, karena mengakomodasi kebutuhan dan partisipasi komunitas lokal yang bersifat lintas-kelas. Lihat saja taman-taman di Bandung yang ketika lebaran tahun ini menjadi salah satu destinasi rekreatif yang murah. Lihat juga fasilitas edukasi publik yang disediakan di taman-taman tersebut yang mengajarkan pengunjung tentang kesehatan, hidroponik, urban gardening, sejarah kota Bandung di masa lalu, visi pembangunan kota Bandung di masa depan, dan masih banyak lagi. Pembangunan taman yang bersifat tematik juga bisa dilihat sebagai bentuk edukasi publik yang efektif untuk menajamkan masyarakat dengan isu-isu sosial kontemporer di sekitar mereka, bahkan cara-cara yang mungkin didesain untuk mebangun resiliensi kota dalam menghadapi isu-isu tersebut.
Entahlah, agak jomplang rasanya ketika saya membandingkan arah pertumbuhan kedua kota ini. Padahal kalau dipikir-pikir dua-duanya sama-sama gudang pemikir di Indonesia, masyarakatnya juga sama-sama kreatif, tapi keluarannya kok bisa beda, ya. Mungkin memang perlu visi yang lebih terarah dari pemimpinnya. Tapi, aduh, siapa saya yang bisa ngomong begini? Mending beberes, ah.
Monday, June 25, 2018
Belajar membaca (lagi), bagian 1
Akhirnya, selesai juga persiapan materi untuk si bungsu belajar membaca. Puas rasanya. Dengan kartu huruf warna-warni, materi belajar membacanya menjadi lebih menarik dan mudah dipahami.
Sebenarnya ada banyak cara praktis untuk mengajari anak membaca. Cara paling praktis mungkin memasukkan anak ke tempat les membaca lalu saya tinggal menikmati hasil belajar anaknya saja. Tapi, karena si mamak sangat berhitung... termasuk berhitung quality time yang terlalu berharga untuk dilewatkan begitu saja, jadilah saya putuskan untuk mengajari sendiri si bungsu membaca.
Sejak berhasil mengajari kakaknya belajar membaca, saya sekarang merasa lebih pede mengajari si bungsu membaca. Dulu, 6 tahun yang lalu, saya juga menyiapkan materi yang sama untuk kakaknya belajar membaca. Prinsip dan metodenya sama, hanya pendekatannya yang dibuat lebih fun, seperti bermain game saja layaknya. Saya pikir mungkin harus begitu, supaya lebih bisa bersaing dengan tontonan di tivi, hehehe.
Prinsip yang saya gunakan untuk belajar membaca adalah pembelajaran bertahap dengan menggunakan bunyi kata. Metodenya dengan kombinasi verbal dan tulisan (menggunakan kartu huruf berwarna). Saya tidak pernah menggunakan bantuan kartu bergambar karena saya mendorong mereka untuk berimajinasi dengan bunyi kata yang mereka dengar.
Hingga saat ini, si bungsu terlihat menikmati proses belajarnya yang sudah sampai di tahap ke-6. Bukan perjalanan belajar yang pendek juga kalau dipikir-pikir. Apalagi kalau ingat terbatasnya waktu yang saya sediakan di tahapan-tahapan sebelumnya... di antara tugas-tugas kuliah yang hampir tidak ada jeda, sehingga mengajari si bungsu menjadi hiburan yang me-recharge semangat saya.
Ini tahapan-tahapan belajar si bungsu:
(1) belajar alfabet A, B, C, ... sampai Z dengan bantuan lagu.
(2) bermain tebak huruf pertama dari kelompok kata buah atau binatang. Di sini saya mengajari anak untuk mengenali bunyi huruf konsonan yang dimatikan. Misal: eB... beruang, eJ... jerapah, es... Serigala, dst.
(3) mengenal bentuk huruf A, B, C, ... sampai Z dengan bantuan kartu. Saya mengajari anak mengasosiasikan bentuk huruf dengan bentuk benda yang mudah dikenali. Misal: huruf H dengan tangga, huruf O dengan donat, huruf J dengan gagang payung, dst.
(4) bermain tebak huruf dengan bantuan buku, majalah, papan reklame di jalan, poster, dst.
(5) mengeja kombinasi huruf konsonan dan vokal dengan bantuan kartu huruf. Misal: ba, bi, bu, be, bo // ca, ci, cu, ce, co // da, di, du, de, do // ... dst.
(6) bermain mengeja suku kata dan kombinasi 2 suku kata dengan bantuan kartu berwarna (lihat foto). Misal: u-mi // a-bi // mi-o // u-bi // ... dst.
Tentu masih ada tahapan belajar lebih lanjut. Tapi baru sampai di sini ini si bungsu berproses. Semua proses dinikmati saja pelan-pelan. Sebagaimana halnya dia tumbuh, saya juga tumbuh lewat proses belajar ini. Bersama-sama.
Sunday, February 2, 2014
Ibu, Guru Perdamaian
Apa ada hubungan antara
menjadi ibu dengan upaya menciptakan perdamaian? Menurut Bunda
Teresa, seorang ibu adalah agen perdamaian aktif di dunia. Kasih
sayang yang ibu berikan kepada keluarganya merupakan bekal yang luar
biasa untuk tumbuhnya jiwa-jiwa pengasih dan penyayang kepada sesama.
“What you can do to
promote world peace? Go home and love your family” - Mother Teresa.
Tapi, bagaimana
sebenarnya peran ibu sebagai agen perdamaian di dunia melalui kasih
sayang di keluarga dapat diterapkan? Apa sih sebenarnya yang bisa
dilakukan oleh para ibu untuk mempromosikan perdamaian di dunia?
Bagaimana pesan indah dari Bunda Tereesa di atas dapat direalisasikan
dalam kehidupan sehari-hari ibu di tengah-tengah keluarga?
Pertanyaan-pertanyaan
tadi tentu mengundang berbagai macam jawaban, sesuai dengan ragam
interpretasi dari masing-masing orang. Ada yang
menginterpretasikannya dengan pilihan menjadi full-time housewife
agar bisa mendedikasikan seluruh waktu, tenaga, dan perhatiannya pada
tumbuh kembang anak dan kebutuhan suami. Ada pula yang
menginterpretasikannya dengan pilihan working at home mom, yakni
bekerja dari rumah agar bisa tetap mengawasi anak-anak dan memenuhi
kebutuhan keluarga. Atau, ada pula yang menginterpretasikannya dengan
pilihan bekerja di luar rumah tapi berusaha memberikan nilai tambah
bagi anak-anaknya melalui berbagai kebiasaan, seperti mendongeng
setiap malam sebelum tidur sembari menanamkan nilai-nilai moral yang
diperlukan anak untuk pertumbuhan psikososialnya kelak. Pesan Bunda
Teresa memang berlaku universal bagi setiap ibu, apa pun latar
belakangnya, namun cara menerjemahkan pesan beliau tentu sejalan
dengan kebutuhan keluarga serta kesanggupan dan kesempatan yang
dimiliki ibu untuk keluarganya.
Seperti halnya pesan
Bunda Teresa adalah peribahasa Arab yang menyebutkan bahwa ibu adalah
sekolah pertama bagi anak-anaknya. Peribahasa itu memang berasal dari
Arab, tapi saya yakin pesannya berlaku bukan hanya untuk orang Arab
atau untuk orang Islam saja (kalimat terakhir ini saya tekankan,
bukan untuk mengonotasikan Islam dengan Arab, tapi justru untuk
menepis anggapan yang menganggap Islam = Arab). Dalam pemahaman saya
yang serba terbatas, peribahasa itu menunjukkan dua hal, yakni (a)
peran penting ibu sebagai mentor di keluarga, dan (b) penentu
pendidikan karakter di keluarga.
Sudah jamak diterima
bahwa seorang ibu adalah muara kasih sayang, tapi sebagai perempuan
yang telah mengalami menjadi anak sekaligus ibu, saya melihat diri saya sendiri penuh dengan kelemahan dan kesalahan. seorang
ibu tetaplah manusia yang tidak bebas dari kekurangan.
Namun, terlepas dari segala kelebihan dan kekurangannya, saya percaya
setiap ibu punya keinginan sama: memberi bekal yang cukup kepada
anak-anaknya agar mereka menjadi pribadi yang lebih baik dari dirinya
sendiri. Itulah sebabnya, di samping intuisi dan pengetahuan, bekal
menjadi guru bagi seorang ibu adalah pengalamannya, yang baik maupun
yang buruk. Dari bekal intuisi, pengetahuan, dan pengalaman itulah,
ibu melancarkan materi, pendekatan, dan metode yang tepat bagi
pendidikan karakter anak-anaknya. Di tangan seorang ibu, pendidikan
karakter anak tumbuh pertama kali, termasuk bagaimana seorang anak
belajar menghargai usaha dan kemampuan diri sendiri, merayakan
perbedaan, menghormati seorang perempuan, hingga menempatkan nilai
spiritualitas vis-a-vis materi dalam kehidupan. Dengan dasar-dasar
karakter inilah, seorang ibu berperan penting dalam menciptakan
generasi yang berorientasi perdamaian.
Saturday, February 1, 2014
Apakah Sharing Selalu Berarti Caring?
Beberapa minggu terakhir
ini saya dibuat kesal dengan maraknya spamming pesan di jejaring
media massa dan media sosial yang berusaha menyebarluaskan fitnah
atas diri seseorang atau sekelompok orang dengan menyebutkan mereka
sebagai kafir atau sesat. Kekesalan saya muncul bukan karena saya
yang difitnah (emang situ siapa? hehehe ...), tapi karena banyak di antara kita yang tidak sadar
bahwa ini merupakan skenario besar untuk memecah belah kerukunan
beragama di masyarakat. Tanpa sadar juga, kita lalu menjadi bagian
dari skenario besar tersebut dengan cara sharing link yang bahkan
belum sempat kita kros cek isi dan kebenarannya. Rasanya sharing is
caring tidak berlaku jika pesan yang kita sampaikan justru merugikan
orang lain, lagipula apa iya mereka yang kita sebut kafir memang
benar tersesat atau jangan-jangan malah diri kita yang tersesat
karena tidak mampu memilah informasi mana yang benar sehingga percaya
begitu saja informasi sepihak yang kita terima. Pelajaran pertama
yang saya dapat dari sini adalah: selalu verifikasi berita dan
informasi yang sampai sebelum kita sebarluaskan kepada pihak ketiga.
Jangan sampai kita malah menjadi distributor berita viral yang
bermuatan fitnah.
Sosial media memang
memberikan kemudahan bagi setiap orang untuk berbagi informasi dan
cerita, namun apa iya semua informasi dan cerita itu layak dipercaya?
Tentu, jika informasi yang dibagi positif hasilnya insyaa Allah akan
positif tapi jika yang pesan yang dibagi justru mengandung bibit
permusuhan dan kebencian bukan tidak mungkin jika hasil yang didulang
malah negatif. Naudzubillah. Anehnya, sebagian besar dari tulisan
yang marak beredar dan disebarluaskan di fesbuk dengan cara click and
share ditulis oleh penulis pertama yang namanya disesaki dengan label
dan gelar kehormatan, seperti profesor, doktor, dan semacamnya.
Pelajaran kedua yang saya dapat dari sini adalah: jangan pernah
meng-under estimate diri sendiri dengan cara menerima begitu saja
kebenaran pendapat orang yang dianggap terhormat dan terdidik. Orang
pandai belum tentu bijaksana, apalagi terhormat. Kehormatan dan
kebijaksanaan seseorang tidak serta merta lahir dari banyaknya titel
dan gelar yang melekat di namanya.
Beberapa minggu
sebelumnya saya juga dibuat kesal dengan informasi yang saya dapat
dari sebuah facebook fanpage parenting yang saya ikuti. Fanpage itu
membagi notes yang ditulis salah seorang anggotanya yang isinya
berupa peringatan bagi para orangtua agar mewaspadai games di
internet yang dengan mudah diakses anak-anak karena mengandung unsur
pornografi. Ketika saya coba kros cek kebenaran isi pesan itu dengan
cara googling, ternyata saya menemukan beberapa sumber lain yang
isinya menunjukan keprihatinan serupa. Itu berarti, pesan pertama
yang saya dapatkan tentang bahaya games yang berupaya menyebarluaskan
virus pornografi kepada anak-anak telah terverifikasi melalui kros
cek dan layak untuk disebarluaskan sebagai peringatan bagi para
orangtua lainnya. Pelajaran ketiga yang saya dapat dari sini adalah:
Daripada sibuk mencari celah kekurangan kelompok lain dan merasa
benar diri dengan menjadi bagian dari mayoritas, lebih baik
memberikan lebih banyak perhatian pada urusan anak-anak dan tantangan
besar yang harus mereka hadapi kelak. Entahlah, sebagai ibu, saya
berpendapat bahwa ancaman pornografi terhadap anak-anak jauh lebih
real dibandingkan “ancaman” kelompok yang memiliki keyakinan atas
Tuhan yang sama namun memilih interpretasi yang berbeda atas sejarah
dan penerapan beribadah kepada-Nya (wallahu'alam). Ancaman yang sebenarnya menurut saya adalah mereka yang terlibat dalam industri pornografi, baik mereka yang mendapat keuntungan ekonomi dari industri pornografi maupun para predator yang tidak hanya menjadi konsumen namun juga mendapat kenikmatan dengan cara merusak kehormatan, mental, dan harga diri orang lain akibat adiksi pornografinya. Maka, sharing is caring bagi saya adalah ketika saya berbagai peringatan kepada sesama orang tua tentang bahaya pornografi, atau cara mengatasi kecanduan games, atau cerdas menggunakan media sosial, atau tema semacam yang penting diketahui orang tua :-)
Tuesday, July 2, 2013
Belajar Menulis #5 Do Not Copy, please ...
Kemarin saya sempat membaca tulisan bagus yang diposting di blog Ibu-Ibu Doyan Nulis, salah satu forum yang saya ikuti sebagai anggota. Tulisan itu membahas masalah plagiarisme di dunia blogger. Agak tersentak juga saya membaca tulisan itu karena ternyata masalah di dunia blogging tidak jauh dari masalah yang biasa dihadapi di dunia akademik.
Sebagai pembelajar baru di belantara blogging dan penulis wannabe, saya merasa cukup khawatir dengan maraknya plagiarisme yang mewabah. Saya yakin setiap orang ingin sekali bisa berusaha dengan apa yang dimilikinya, dan besar/kecilnya penghargaan terhadap karya orang lain sebenarnya merefleksikan besar/kecilnya penghargaan terhadap karya sendiri. Kalau mau jujur, setiap orang juga pastinya ingin dihargai kan dengan karya-karyanya, jadi kemarahan sudah pasti wajar kalau bicara tentang hak cipta yang diambil alih begitu saja.
Sebenarnya ada banyak cara untuk menjadi apa pun yang lebih baik ... istri yang lebih baik, ibu yang lebih baik, penulis yang lebih baik, dst yang lebih baik. Dari banyak cara yang tersedia, saya percaya bahwa belajar dari kesalahan adalah guru yang paling baik ... jalannya mungkin lewat peluh dan aral melintang yang melelahkan dan kadang terasa pahit ditelan, tapi kalau kita ikhlas dan mampu berdamai dengan segala pengorbanan di muka, insyaAllah buahnya juga akan terasa manis di akhir, apalagi jika diresapi dengan penuh kesyukuran.
Sebagai pembelajar baru di belantara blogging dan penulis wannabe, saya merasa cukup khawatir dengan maraknya plagiarisme yang mewabah. Saya yakin setiap orang ingin sekali bisa berusaha dengan apa yang dimilikinya, dan besar/kecilnya penghargaan terhadap karya orang lain sebenarnya merefleksikan besar/kecilnya penghargaan terhadap karya sendiri. Kalau mau jujur, setiap orang juga pastinya ingin dihargai kan dengan karya-karyanya, jadi kemarahan sudah pasti wajar kalau bicara tentang hak cipta yang diambil alih begitu saja.
Sebenarnya ada banyak cara untuk menjadi apa pun yang lebih baik ... istri yang lebih baik, ibu yang lebih baik, penulis yang lebih baik, dst yang lebih baik. Dari banyak cara yang tersedia, saya percaya bahwa belajar dari kesalahan adalah guru yang paling baik ... jalannya mungkin lewat peluh dan aral melintang yang melelahkan dan kadang terasa pahit ditelan, tapi kalau kita ikhlas dan mampu berdamai dengan segala pengorbanan di muka, insyaAllah buahnya juga akan terasa manis di akhir, apalagi jika diresapi dengan penuh kesyukuran.
Monday, July 1, 2013
Sampah Organik dan Anorganik
Sudah satu bulan ini saya mencoba mempraktikkan pembagian kotak sampah di rumah berdasarkan jenisnya: sampah organik dan anorganik. Idenya sebenarnya berasal dari Abi. Waktu itu Abi mengeluh karena sampah yang biasa digabung di rumah menimbulkan bau tidak sedap. Karena tidak tau mau diapakan, saya cuma bisa balik bertanya apakah Abi punya saran untuk menyelesaikan masalah ini. Jujur saja, saya sendiri tidak paham bagaimana mungkin penggabungan dua jenis sampah dalam satu tong sampah yang sama bisa menimbulkan bau yang tidak sedap seperti itu. Tapi waktu Abi memberikan saya saran untuk memisahkan sampah berdasarkan jenisnya: organik dan anorganik, saya pikir tak ada salahnya untuk mengikuti saja sarannya.
Untuk mendukung keberhasilan gerakan memisahkan sampah organik dan anorganik di rumah, saya mencoba mengajak anak-anak untuk belajar membedakan mana yang termasuk sampah organik dan mana yang bukan sampah organik. Kebetulan sekali, di buku pelajaran IPA si sulung juga ada pelajaran tentang makhluk hidup yang menjelaskan tentang perbedaan benda hidup (organik) dan benda mati (anorganik). Jadi ketika saya mulai mengintroduksi gerakan ini, saya mencoba mengaitkannya dengan materi pelajaran IPA yang sedang dipelajari si sulung. Hasilnya, si sulung dengan antusias membantu saya menjelaskan pada adiknya ketika ia masih belum mengerti cara membedakan benda organik dengan anorganik.
Alhamdulillah, sekarang ini si sulung maupun si bungsu sudah terampil membuang sampah menurut jenisnya pada tempat sampah yang tersedia. Ketika kami jalan-jalan pun, si bungsu suka bertanya jika tempat sampah yang tersedia hanya ada satu, "Ummi, kalau aku mau buang bungkus wafer ini dimana? Soalnya tempat sampahnya kan cuma satu," pikir saya dia pasti khawatir kalau dia membuang sampah di tempat sampah yang tidak sesuai jenisnya.
O ya, sejak dimulainya gerakan ini, bau sampah yang menyengat di rumah sudah tidak lagi kami rasakan. Alasannya sederhana, saya jadi teratur membuang sampah organik setiap 1-2 hari sekali, sedangkan sampah anorganik bisa dibuang lebih lama: 3 hari sekali. Memang seharusnya sampah organik bisa diolah lebih lanjut menjadi pupuk, tapi sejauh ini memang belum sempat saya pelajari cara pengolahannya bagaimana. InsyaAllah, sambil jalan, saya bisa belajar mengolah sampah organik di rumah.
Sumber foto: http://www.buletinbelantara.com/2012/05/sampah-organik-dan-anorganik.html
Subscribe to:
Posts (Atom)